Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Kicauan Prenjak

2 Juni 2012   03:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:30 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

* Kicauan Prenjak *

Chris Suryo

.

.

Prenjak masih menikmati makan siangnya. Butir putih telur-telur semut rangrang itu menjadi hidangan mewahnya sehari-hari. Sambil terus berkicau dan bernyanyi, tubuh dan sayap mungilnya lincah menari. Berlompatan, terbang sejenak lalu hinggap kembali di antara cabang dan gemerisik daun bambu.

Suara dan kecipak paruhnya sekejap berhenti. Mata-mata mungilnya menangkap sosok mencemaskan sahabat perkasanya. Sudah beberapa waktu ini dia begitu murung, letih, dan kehilangan kegagahannya. Prenjak pun berkeciap lalu turun menghampiri, dahan bambu bergoyang pelan ketika kaki-kaki mungil itu menjadikannya tumpu loncatan.

Prenjak pun nyaring menyapa”, Hai, sobatku Garuda, sudah beberapa masa ini kau terlihat hilang gairah. Ada apa rupanya?”

Tatapan Garuda tampak acuh, tak berniat tanggap”, Ah, itu hanya kicauanmu saja, aku tak mengapa..”

“ Cuit..cuit..., aku memang suka berkicau, tapi aku juga miliki hati dan juga mata. Kau tak lagi segagah cerita-cerita lalu, seperti moyangmu yang melawan Rahwana demi Dewi Shinta..”

Garuda tertunduk, paruhnya yang besar tajam enggan mengatup, tampak lelah hendak mencari jalanbernapas, di tengah rasa haus yang sulit berkesudahan. Bahkan kali ini ia hendak jujur, untuk terbang rendah saja sedemikian sulitnya. Sayap-sayap kekar dan juga cakar yang dulunya dahsyat, telah lunglai seolah akan tamat riwayat.

“ Prenjak. Terima kasih kau telah peduli. Aku tak menyangkal lagi, saat ini serasa akan sekarat. “Perisai Agung” yang mengalung di dadaku ini, dari waktu ke waktu semakin bertambah berat..”

“ Oh, Garuda. Sungguh kasihan engkau, perisai itu seharusnya kencana, selalu berkilau tak tertelan lapuk ataupun karat..”

“ Entahlah, Prenjak kecilku. Di luar tampak berkilau, tapi sepertinya di dalamnya lapuk ditelan lembab..”

“ Kenapa tak kau letakkan saja perisai itu? Kau akan terbang bebas lepas..”

“ Tidak, Prenjak. Aku akan tetap bertahan, mudah-mudahan karat-karat perisai ini luntur dihembus angin kesucian. Dia satu-satunya pelindungku dari panah-panah tajam para pemburu..”

“ Cuiit...cuiit. Semoga kau mampu, Garudaku. Jangan lepaskan pula pita mulia di cakarmu itu, dari situ pulalah kekuatan sejatimu..”

“ Tentu Prenjak, doakan aku..”

“ Cuit..cuit...cuiiiiit....., pasti, semoga..”

Prenjak pun melenting lincah menari. Terbang, meloncat dan hinggap di sela-sela gemerisik rumpun bambu yang saling bersentuhan. Garuda mencoba bertahan, mengumpulkan sisa-sisa riwayat kekuatan, berharap angin kemuliaan datang, melenyapkan segala karat yang membuat perisai itu terasa berat. Ia ingin kembali perkasa, lalu terbang mengangkasa, tanpa satupun panah pemburu mampu menembus perisainya.

***

C.S.

Di dada masih ada..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun