Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perspektif “Membunuh” Tembakau Indonesia

31 Mei 2012   09:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:34 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13384547931907257449

[caption id="attachment_179948" align="aligncenter" width="593" caption="Kretek Produk Asli Indonesia. Ilustrasi/foto, dokumen pribadi"][/caption]

Entah sejak kapan dan siapa yang menggagas serta mencetuskan, katanya hari ini, bertepatan dengan tanggal 31 Mei di”sepakati” sebagai Hari Tanpa Tembakau sedunia. Tembakau, dedaunan yang selama ini identik dengan produk yang bernama rokok itu menyimpan dilema yang besar terutama berkaitan dengan perbenturan antara “isu” kesehatan, budaya, ekonomi dan juga hukum.

Merokok mempunyai efek yang merusak kesehatan, hal ini tak dipungkiri telah diketahui oleh setiap orang, termasuk perokok itu sendiri. Kampanye anti rokok yang digiatkan oleh praktisi kesehatan ataupun aktifis anti rokok sedemikian masif dengan pola “menakut-nakuti” serta cenderung “mengancam” dengan senjata bahaya merokok bagi kesehatan itu. Di luar itu yang terlupakan adalah abai terhadap kemungkinan adanya manfaat rokok itu bagi kesehatan (tak ada yang tak mungkin di dunia ini, paling tidak adanya penemuan “divine kretek” yang membenahi paradigma itu, meski tenggelam dalam riuhnya “kepentingan” gerakan anti rokok ataupun industri rokok mainstream itu sendiri).

Asap rokok merusak kesehatan? Iya, sampai saat ini diyakini benar. Karena mengandung banyak bahan kimia yang merusak tubuh penghisapnya dan juga pihak lain yang terpapar asapnya (perokok pasif). Lalu bagaimana dengan asap yang timbul dari kendaraan bermotor? Jumlah kendaraan bermotor baik sepeda motor ataupun mobil selalu bertambah, menimbulkan kemacetan dan stagnan di jalanan, asap polusinya bagai kabut tebal yang menutupi kota-kota, terutama Jakarta. Hampir semua menghisapnya. Dan mengapa tidak bergeliat aktifis dan praktisi kesehatan kita/dunia yang mencanangkan dan mewacanakan Hari Tanpa Kendaraan Bermotor Sedunia?

Demikian juga jika dikait-kaitkan dengan kesehatan. Asupan dari luar ke tubuh yang dianggap merusak kesehatan bukanlah hanya asap (rokok). Saat ini banyak makanan-makanan yang sangat berpotensi pula merusak kesehatan. Bahan makanan yang sering ditelan hampir semuanya terakumulasi bahan-bahan kimia, baik itu produk nabati ataun hewani dari awal hingga akhirnya. Pupuk, pestisida, makanan ternak, bahan pengawet dan lain-lainnya mengendap dalam tubuh memaparkan bahaya penyakit yang mengancam juga. Jaman bergeser menjadi serba praktis sehingga kebiasaan mengkonsumsi makanan pabrikan instan ataupun junk foods seperti dianggap biasa. Kenapa pula tidak ada yang menggadang Hari Tanpa beras anorganik, pupuk kimia, pengawet, makanan instan, ayam potong pemakan “pur”, sapi potong pemakan “dedak/pur” dan juga junk foods?

Kakek saya seorang petani, dahulu perokok (kretek lintingan besar), di luar yang dikatakan takdir, dia sehat-sehat saja sampai umur 80 tahunan lebih. Bahwa kesehatannya menurun hingga akhirnya meninggal bukan karena kebiasaannya merokok, tapi karena jatuh dari genteng rumah (waktu membetulkan genteng yang bocor, beliau tidak merokok).

Mbok Ali, tetangga saya di kampung, perokok lintingan besar juga. Tetap lincah dan gesit, sehat, dari sejak saya kecil sampai memiliki anak, melihatnya hampir tak berubah. Umurnya saya perkirakan telah mencapai 90 tahunan. Mertua saya bukan perokok, namun setelah pensiun pada umur 56 tahun, kesehatannya tampak menurun, sakit-sakitan, dia meninggal ketika umurnya “hanya” mencapai 60 tahunan karena diabet, jauh lebih dulu dari ayah kandung saya yang pekerja fisik, lebih tua dan perokok, ia meninggal pada usia 72 tahun. Hanya contoh kecil saja, Saya yakin kita semua tahu penjelasan yang sedikit secara ilmiahnya apa.

Sekarang, berapa usia harapan hidup di negara kita? Di luar takdir, yakinkah anda, seseorang yang tidak merokok akan tetap hidup sehat saat mencapai umur 70 tahunan saja? Bukan ingin mencari pembelaan, namun sekedar membuka mata bahwa bukan hanya rokok, produk konsumsi legal yang berpotensi merusak kesehatan. Berkampanye untuk “membunuh” rokok, tidak terlalu signifikan jika tidak diiringi kampanye hidup sehat yang lain. Anti polusi, makanan pengawet, pupuk kimia, pestisida dan lain-lainnya.

Hidup sehat bukan hanya tanpa rokok saja. Percuma jika tak merokok tapi tidak pernah berolah raga, pola makan seenaknya dan tidak memperhatikan makanan (nikmat) apa saja yang dicernanya. Apalagi kalau perokok dan juga tidak memperhatikan pola makan dan gaya hidupnya. Gerakan gaya hidup yang baik, memakan asupan sehat, organik, anti polusi juga harus dilakukan agar seimbang. Bukan industri rokok saja yang seolah harus di”kejar-kejar”, namun industri yang menyangkut bahan kimia ataupun asupan tak sehat lain juga harus di”cecar”.

Katanya sekian-sekian orang meninggal karena rokok, namun jangan lupa, sekian-sekian juga orang meninggal karena kelebihan kolesterol ataupun terlalu berlemak (asupan makanan “enak”). Merokok mengurangi umur, katanya. Tapi tentu bukan hanya itu asupan yang mengurangi umur, apalagi rokok tak satu-satunya yang dianggap berhubungan dengan “matematika” umur. Kalau sering kita lihat peringatan pada bungkus rokok, juga gambar-gambar kampanye anti rokok yang menyuguhkan “kengerian” kondisi daleman tubuh karena rokok, sebaiknya menyelakan juga sebuah tanya, kapan peringatan sejenis terpasang pada produk mie instan, gula dan lain-lainnya, begitu pula dengan gambar-gambar yang serupa?

“ MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN, BEGITU JUGA ASAP KENDARAAN BERMOTOR, MAKANAN INSTAN, JUNK FOODS DAN LAIN-LAIN”

Dari perspektif budaya, dunia telah mengakui bahwa produk tembakau Indonesia, yaitu kretek telah di anggap sebagai salah satu “kekayaan” warisan budaya yang mencerminkan keaslian bangsa. Mungkin bisa disejajarkan dengan keris, batik, ataupun wayang kulit. Sekarang pertanyaannya, relakah jika suatu saat kretek itu diklaim oleh negara lain di belahan dunia sebagai produk asli/budaya mereka, seperti saat negara lain mengklaim Reog, Batik ataupun Lagu Rasa Sayange?

Secara ekonomi, menyangkut tembakau dan produknya ini, memiliki tempat yang gamang pula. Mungkin jutaan nyawa bergantung pada hidupnya dari hulu ke hilir industri ini. Petani tembakau, petani cengkeh, buruh pabrik rokok, transportasi, pedagang dan lain-lainnya. Demikian juga, peranannya dalam menyetorkan pendapatan negara. Bantalan serta inovasi apa, dan harus kemana mereka di alihkan ketika gerakan anti rokok itu memiliki target “membunuh” industri ini? Karena ini merupakan “senjata” utama produsen untuk bertahan.

Jika jeli mengamati, bukan sebuah ilusi bahwa gerakan-gerakan “membunuh” rokok itu bisa disusupi kepentingan lain terkait “bisnis” global. Bukankah ketika industri rokok kretek tradisional Indonesia pelan-pelan kembang kempis dan juga terkapar, produk-produk rokok dari luar negeri dengan “rokok putih serta filternya” membanjir, bahkan produsen besar kita pun dibeli/kuasai? Rokok kretek bergejala “punah”, namun rokok filter/putih hasil infiltrasi dari luar negeri masih akan bertahan/berkibar. Industri rokok pun pelan tapi pasti berada dalam cengkeraman asing.

Sebuah pola “pembunuhan” yang  mirip dengan ketika dahulu, minyak kelapa kita ditentang habis-habisan oleh dunia luar karena ditengarai menghambat pembuluh darah (abaikan kalau pengetahuan ini salah, karena saya lupa darimana pernah membaca). Ternyata dari luar negeri dikemudiannya memasuki pasar dengan minyak nabati versi mereka. Pada perkembangannya malah terungkap manfaat dari minyak kelapa untuk kesehatan dengan apa yang kita kenal sebagai VCO (Virgin Coconout Oil), padahal produsen kelapa/kopra di negeri ini sudah telanjur loyo. Begitupun dugaan pola sejenis yang dialami produk CPO/sawit kita baru-baru ini. Setelah cengkeh pun runtuh/diruntuhkan, produk merekalah yang meluncur sebagai “pengganti” ketika produk asli tembakau/rokok kretek kita  mulai lenyap karena “kalah” atau dikuasai. Dan ini tampaknya akan bertahan lama karena mereka lihai “memainkannya”.

Dari ketiga perspektif di atas saja, penanganan terhadap tembakau masih jelas bergulat dalam dilema. Kampanye anti tembakau memang positif dari sisi kesehatan, namun ketika polanya “tidak tulus”, terlalu masif atau seolah perang, tentu akan menimbulkan gesekan-gesekan yang tidak nyaman. “Perlawanan” dari pihak “perokok” meskipun mereka “tahu diri” di yakini tetap ada, yang dituntut secara substansi adalah perlakuan secara “adil dan manusiawi”.

Banyak pihak yang “terlupa” bahwa rokok secara hukum adalah produk legal dan merokok merupakan hak individual. Maka itu wajar, ketika Mahkamah Konstitusi “mengabul”kan gugatan yang intinya memerintahkan agar pada lokasi (perkantoran) yang menerapkan sebagai kawasan dilarang merokok, menyediakan pula tempat khusus untuk merokok. Perokok juga manusia, tak layak dikucilkan seolah pendosa yang harus segera bertobat, karena merokok adalah hak, juga cara mereka dalam menjaga kesehatannya. Yang perlu di”sentil” ataupun dicaci adalah perokok yang “belum dewasa”, bisa diartikan dari sisi umur ataupun cara merokoknya yang “melanggar” hukum/perda/hak-hak orang lain, serta tak menimbang “budaya” merokoknya dengan mengorbankan keutamaan dalam kehidupannya (lebih mengutamakan rokok daripada susu sang anak, misalnya). Perokok yang “baik” pasti akan mengerti ini, yang meskipun belum mampu berhenti akan berpikir rasional dalam kebiasaannya sehari-hari.

Memang diharapkan kebiasaan merokok ini bisa sepenuhnya dan semua individu mampu dengan “kesadaran sendiri”nya menghentikan, mungkin akan sangat berperan ketika kekuatan industri rokok asing itu telah menimbang waktunya untuk hengkang. Namun perlu “dipersiapkan” arah kemana nantinya tembakau itu diproduksi untuk manfaat lain yang secara ekonomi berimbang, agar sahabat-sahabat yang selama ini menggantungkan hidupnya di sana bisa beradaptasi. Di sinilah perlunya inovasi-inovasi. Andaipun rokok itu nantinya tinggal kenangan, namun warisan budaya yaitu kretek yang telah diakui dunia harus tetap dicatatkan.

Pasti masih banyak prespektif lain yang perlu dipertimbangkan dalam menyikapi tema tembakau dan produknya di negeri ini. Mungkin tulisan saya ini patut ditertawakan, dianggap mengacau, mbulet, meracau atau bahkan “menyebalkan” bagi Anda. Mohon maaf, tapi saya hanya menuangkan apa yang terpikirkan, yang kekurangpintaran dalam menulis membuat pesan tak tersampaikan. Namun mudah-mudahan tak semua ngawur adanya.

Selamat hari tanpa tembakau SEDUNIA.

.

.

C.S.

Jangan merokok sembarangan

Jangan makan sembarangan

Saling hargai “keadaan”

( Topik ini cukup melelahkan, entah mengapa kali ini saya merindukan komen/sapaan yang Out Of Topic /OOT)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun