Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Oh, My “Swimming” Books

22 Mei 2012   10:24 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:58 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Malam itu gerimis dan cuaca basah, aku masih sok-sokan menulis, membuat konsep tulisan, lesehan di lantai ruang depan. Rencananya sih, kalau sudah jadi, konsep itu akan kutuangkan di blog kesayanganku, nebeng di komputer kantor waktu jam istirahat. Di kanan kiri terhampar buku-buku kesayangan yang banyak kucomot isinya sebagai narasumber tulisan.

“Ck..ck...ck.., memang gayanya selangit banget, kayak penulis beneran, padahal cuma menulis untuk blog pribadi yang pembacanya selalu sepi”, itu kata cicak-cicak di dinding, yang kuterjemahkan sendiri bahasanya. Ck..ck..ck.., tokek.... Eh, kok tokek sih.., cicaaak, hehe.

“ Maaas, udah malem. Mbok ya tidur,..lah”, itu suara manja istriku yang hamil muda.

“ Belum ngantuk ah, Dik. Lagian, tidur doang nggak asik”

“ Memang Mas “pengin”? Ya, ayo lah..”

“ Nggak dulu ah, kasihan si “adik”..,hehe..., kemarin kan udah..”

“ Lagi juga nggak papa..”

“ Jangan sering-sering ah..”

“ Ya, udah. Aku duluan tidur ya...”

“ Hmm,..hati-hati...., eh...met tidur, ding..”

Lalu aku teruskan corat-coret di kertas putih, sambil menambah hamparan buku yang makin bertambah jumlah tebarannya. Tak terasa hampir pukul satu malam, akhirnya mata mulai sepet dan memutuskan pindah ke kamar, menyusul istriku yang sudah lebih dulu pulas dalam dinginnya malam. Beberapa menit kemudian, seiring gerimis yang semakin membesar, aku pun terlelap dalam buaian mimpi.

***

Pagi belum beranjak terang. Aku belum berniat bangun dari tidur ketika teriakan Pak Toyib, tetanggaku itu membuatku terperanjat.

“ Hoiiii..! Mas Chris! Pengantin baru! Udahan dulu kelonannya,....bangun!”

“ Apaan sih.., berisik banget..”. Aku dan istriku agak bermalasan menggeliat bangun.

Kecipak! Kecipuk..!

“ Astaga! Dik...?! Banjirrr...!” teriakku ketika turun dari ranjang, kakiku langsung terendam. Tingginya air ternyata sudah setengah kaki dipan.

“ Wah, Mas. Banjir beneran, Nih?”

“ Bukaaan, bo’ongan! Ya, iyalah. Ayo buruan kita beres-beres!”

“ Mas saja, ah! Aku kan nggak boleh capek-capek..”

“ Ufss....., iya deh..iya...”

Segera kubuka pintu kamar, langsung disambut “Kiyosaki” yang meluncur dengan gaya bebasnya, berenang-renang.

“ Waduh, Dik! Buku-bukuku!....Yaaaahhhh! Habis semua deh..!”

“ Makanya,...kalo habis baca di rapiin..!...”

Kujumput “Kiyosaki” yang telah lunglai tak terselamatkan. Tak terkira penyesalanku ketika kulihat diruang depan, yang lain mengalami nasib serupa. “Dale Carnegie” yang sudah uzur megap-megap terendam, “Stephen Covey” telah menyerah di dasar lantai yang tergenang, “Bob Sadino” juga tak ketinggalan, terhempas ke sana kemari seiring kecipak air yang kuciptakan, dari langkah kakiku yang mendekat. Begitu juga yang lain, “Napoleon Hill”, “Phillip Kottler”, juga “Tung Desem” dan teman-temannya. Ada yang tenggelam separuh, juga yang “terkampul-kampul” tak karuan. “Mata” mereka tajam tertuju ke arahku, “jari-jari”nya jelas melontarkan tuduhan “, Dasar ceroboh! Lihat nih! Kami jadi korban!”

“ Mas! Jangan bengong saja lah! Udah, ikhlaskan buku-bukumu, barang-barang yang lain di amankan!”

“...Iya...iya...”

***

Ketika banjir telah usai.

“ Yaaah, Mang. Masa Cuma segitu harganya..?”

“ Iya, lah, Mas. Buku-buku ini pun harus dijemur dulu biar kering, sebelum nanti ditimbang...”

“ Tapi ini buku-buku bagus lho. Dulu mahal belinya..”

“ Tapi sekarang kan udah renyek, nggak bisa dibaca lagi..”

“ Ya, udah, deh. Ambil saja semua, gratis..”

“ Bener nih, Mas...”

“ Iya deh, nggak papa. Tapi jangan semua dikiloin lho Mang, itu buku-buku bagus...”

“ Lah! Mau diapain lagi, Mas?”

“ Dibacalah...”

“ Mana bisa?..udah lengket semua kok..”

“ Dipilih-pilih dong,...tuh yang “kiyosaki” kayaknya bisa ditelatenin. Isinya bagus lho, siapa tahu Mamang nanti bisa pindah “kuadran”, suatu saat menjadi juragan pengepul barang bekas,..mungkin..”

“ Amiin. Tapi, ...apa itu tadi, Mas? Kuadran? Apaan sih.., rumah? Sekarang aja saya masih ngontrak, kok”

“ Makanya,...baca!...baca!..”

“ Lengket..., Mas. Jangan marah-marah gitu dong,..hehe..”

“ @#&%*...”

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun