Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jendela Kayu Dan Pelacur Itu

16 April 2012   11:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:33 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam ini, aku tak menghiraukan lagi panggilan ibu dari ruang tengah. Dokumen-dokumen yang terhampar di meja itu sebelumnya telah membuatku membatu dan bisu. Seharusnya aku gembira karena di sana telah tertulis jelas nama-namaku sebagai pewaris harta peninggalan almarhum ayah. Rumah besar di tengah ibu kota dan berserak lagi bukti-bukti kepemilikan ada. Semua telah dibalik nama atasku. Entah mengapa aku begitu muak dengan senyum ibu yang tampak sumringah merengkuhnya.

“ Surya, kenapa sih? Kamu kok cuek saja dengan peninggalan ayahmu? Ini semua buat kamu, Nak!”

“ Ambil saja buat Ibu..”, balasku sambil ngeloyor ke kamar.

“ Surya..!”

Tak kudengar lagi usaha ibu mencegahku. Kututup lalu kukunci pintu kamar dari dalam. Kubuka jendela lebar-lebar. Hawa dingin dan sepi menyeruak seiring tetesan hujan yang belum usai. Bingkai besar jendela tua ini masih seperti yang dulu. Hujan dan dingin inipun masih seperti waktu lalu. Meski malamnya berbeda dengan saat ini. Saat itu malam tengah memuncak pada dini hari, gigilnya melebihi hujan saat ini.

Gundahku sekarang adalah sesal mengapa saat itu tak mengerti. Aku yang ketika itu masih belum mampu mengeja dengan benar kata-kata dalam huruf “r”, apalagi untuk mampu memahami apa yang terjadi di rumah ini. Tentang seorang perempuan yang sering kupanggil mbak Ni. Dia yang sering menangis saat tangan kasar ayah melayang ke pipinya, juga telunjuk ibu yang berpadu nyaring kata mengacung padanya, dalam simpuh lelah di lantai.

Yang kutahu, Mbak Ni sangat sayang padaku. Sering memberikan aku coklat cap jago kesukaanku. Meski wajahnya sering lebam, dia selalu tersenyum manis saat kutanya, kenapa ayah dan ibu sering marah padanya?

“ Karena, Mbak Ni Nakal, Sur..”

“ Aku kan juga nakal, Mbak..?”

“ Iya, tapi aku anak tiri ibu..”

“ Aku anak tili juga?”

“ Bukan, kamu anak kandung..”

Dan sampai di situ aku berhenti karena tak mengerti. Mulutku lebih sibuk mengunyah coklat pemberiannya daripada banyak bertanya hal yang jauh di luar nalar tak kubisa.

Jendela ini pula, yang menjadi bingkai akhir ingatanku padanya. Ketika tengah malam dalam hujan, aku tertatih terbangun dengan suara keratnya, tanda ada yang membuka. Kulihat Mbak Ni tengah berusaha memanjatnya, dipunggungnya ada tas besar yang biasa dipakainya pergi lama, yang ketika dia pulang selalu disambut melayangnya tamparan ayah di wajah manisnya.

“ Mbak, Ni. Kok main di jendela, nanti jatuh, loh..?”

“ Nggak dong, Sur. Mbak Nik ati-ati, kok..”, dia tersenyum. Baru sekarang aku mengerti bahwa senyum itu ternyata getir.

“ Hujan, Mbak. Nanti pusing, loh..”

“ Nggak papa, udah, kamu tidur lagi ya. Anak hebat..”

“ Aku ikuttt...”

“ Eiiit, nggak boleh, Mbak Ni mainnya jauh..”

“ Ikuttt...”

“ Besok aja ya, Mbak Ni ajak main ke taman yang dekat. Eh, Surya mau coklat..? Nih..”

“ Ho’oh..”

Mbak Ni berhasil merayuku untuk tak menghalangi perginya. Ah! Baru sekarang aku menyesal, kenapa begitu mudah diakalinya dengan sebatang coklat dan janji. Janji yang seiring waktu akupun mengerti, itu tak akan di tepati. Aku hanya terbengong tak mengerti, dengan sesekali mengecap coklat kecil itu, memandang bingung sosok Mbak Ni yang perlahan turun dari jendela, menerjang hujan lalu lenyap di kegelapan malam.

Aku bukan anak kecil lagi sekarang. Tumpukan harta itu tak layak kusambut dengan senyuman. Sedangkan aku tak tahu apakah Mbak Ni sekarang bahagia atau terlunta. Aku harus terus mencarinya, walau entah harus kemana. Tapi aku masih ingat garis-garis manis wajahnya. Juga getar-getar kasihnya. Ada sebuah harapan muncul, aku tak tahu apakah itu benar dia. Wanita ayu yang pada wajahnya aku tak tega menuntaskan nafsu, di sebuah hotel tempat perempuan panggilan itu memenuhi pesananku. Karena ada sejuk derita dalam tatap mata indahnya, juga kedamaian lama yang kurasa. Bisikan itu mengatakan, kami bersaudara.

Jendela kayu yang bisu, mampukah kau mengatakan kenyataan itu? Pelacur itu kakakku? Rani.

.

.

C.S.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun