Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sudah "Bolong", Mbak?

19 Maret 2012   03:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:50 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13321256762133591370

Bolong, menurut saya merupakan kata yang menerangkan kondisi. Kondisi yang menggambarkan sebuah situasi terakhir bahwa apa yang ideal terhadap sesuatu itu sebelumnya adalah rapat. Arti padanannya adalah “berlubang”. Jadi, bolong tidak sama dengan “lubang”. Karena bolong itu kondisi dari sebuah/sesuatu hal yang sebelumnya (seharusnya) rapat/tidak bolong, seperti halnya “bocor”. Sedangkan lubang lebih pada bendanya.

Masih beda pendapat? Oke, tak apa, wajar. Mari kita oprek lagi istilah yang mungkin “sepele” ini.

Lubang merupakan suatu bentuk penunjukan “benda” atau “obyek”nya, sama seperti halnya sebuah kata celah,rongga,liang, atau jika dalam bahasa bulenya di sebut hole. Dan jika hendak disamakan maka “lubang” adalah “bolongan” dan “bolong” adalah “berlubang”.

Jika menilik pada riwayat fungsi dan aplikasinya, serta subyek yang memandangnya, bolong atau berlubang seringkali bermakna “negatif”. Sedangkan lubang atau bolongan sebagai bentuk kondisi akhir, dinilai positif atau negatifnya bergantung latar belakang sebelumnya.

Saya mengatakan bahwa bolong/berlubang itu cenderung negatif karena ungkapan itu muncul ketika suatu kondisi yang terjadi pada hal yang seharusnya/idealnya rapat. Maka kejadian bolong di sini merupakan kondisi yang tidak diinginkan karena berakibat kurang baik. Contonhnya : jalan raya yang seharusnya mulus kok bolong-bolong, APBN yang seharusnya rapat kok bisa bolong bahkan jebol karena subsidi terlalu besar, aib orang yang tidak perlu diungkap seharusnya tertutup rapat namun ternyata bisa bolong sehingga bocor, genteng atau atap rumah seharusnya rapat tapi kenapa bolong sehingga bocor sewaktu hujan, hukum sering dilanggar karena ada kesempatan melubanginya dan lain-lain. Bahkan, sebagai intermeso saja nih, kondisi bolong ini seringkali memicu terjadinya keributan pada pengantin baru. Mungkin ada “pemuja keperawanan” yang mempermasalahkan ketika pada malam pengantin menemukan kondisi bahwa istrinya sudah “bolong”, padahal sebenarnya jika landasannya adalah cinta, hal itu tidaklah terlalu menjadi halangan ( kalo istrinya “rapet” kan malah susah...he..he..).

Seperti saya ocehkan di atas, mengenai lubang atau bolongan sebagai kondisi akhir tetap bisa dinilai positif karena pada riwayatnya memang dibutuhkan/diinginkan. Contohnya kan mudah: Jakarta yang sering banjir itu sebagian besar karena saluran airnya tidak bolong, kesalahpahaman pemerintah dan rakyat sering terjadi karena komunikasi yang tidak bolong, kita tidak bisa memakai baju dan celana jika di sana tidak ada bolongan, Anda tidak bisa mandi pagi jika keran air di kamar mandi mampet, penyakit kanker mengancam jika Anda tidak secara rutin jongkok atau duduk di toilet yang bolong lalu membuang “zat tidak terpakai” dari organ tubuh Anda yang bolong (maaf), Tiger Wood tidak akan menjadi juara dunia jika lapangan golf tidak ada bolongannya ( gimana bisa “hole in one”? ) dan pasti masih banyak lagi contohnya.

Tentu saja sesuatu yang memang semestinya bolong harus dipertahankan, sedangkan bolong yang tidak diinginkan harus dibenahi. Harus ditelusuri dari mana sumber kebolongan tersebut dan apa latar belakangnya sehingga menemukan tindakan yang tepat untuk mengatasinya.

Agar mudah, sebagai misal adalah beberapa kaus kaki Saya yang bolong. Riwayat kaus kaki Saya yang bolong itu adalah karena adanya lubang-lubang eksternal dan internal sebelumnya. Secara eksternal mungkin karena banyaknya anggaran infrastruktur negara/daerah yang diperkirakan bolong sehingga bocor. Jalan raya lambat dibangun, sangat minim pembangunan jalan baru, yang lama banyak berlubang, kemacetan sering terjadi sehingga sehari-hari Saya begitu sering menginjak kopling dan gas, akhirnya kaus kaki saya mudah bolong. Secara internal, saya akui anggaran keluarga masih sering bolong dan bocor juga, gali lubang tutup lubang sudah biasa, sehingga untuk pengadaan kaus kaki baru dipertimbangkan untuk ditunda, menunggu anggaran bulan selanjutnya, jika tersedia posnya karena alokasi untuk membeli susu anak lebih utama.

Semoga di negeri ini bolong-bolong yang tidak dikehendaki segera bisa dirapatkan, paling tidak kebocoran bisa diminimalkan bahkan ditiadakan. Jika memang banyak subsdi yang harus dikurangi, tentu saja layak dimaklumi, yang penting alokasi dana hasil pengurangan subsidi itu tepat sasaran untuk menambal bolongan-bolongan yang dibutuhkan.

Omong-omong, apakah Anda sudah “bolong”, mbak, mas, pak, bu, saudara/i?

Salam bersyukur, bersabar, berusaha, berdoa dan berbagi.

.

.

.

C.S.

Berdamai dengan “ventilasi”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun