Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Darah Perawan

29 Februari 2012   13:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:44 7137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hari kedua setelah pernikahan. Aku bahagia bersanding dengan wanita ayu ini. Namun entah mengapa, kulihat galau dan gamang di wajah istriku. Sejak malam penuh bunga itu, senyumnya begitu pias menyamarkan indahnya. Ah, semula kupikir dia hanya membutuhkan masa, rasa aneh ketika ada aku yang selalu hadir saat tidurnya terjaga. Tapi mengapa raut gugup bahkan terkesan takut itu aku menangkapnya? Meski ia tetap mencoba sembunyikan? Tapi sampai kapan?

Aku masih berharap dugaanku yang pertama itulah sang alasan, hingga tiba saat ia merasa nyaman. Mungkin ada sikapku yang kurang berkenan, meski ia masih segan untuk meluruskan. Suatu saat aku yang akan mencairkannya.

Pagi ini dia masih gugup, saat secangkir kopi ia sajikan. Masih tak berani tengadah saat kutatap matanya. Ah, bukankah matanya indah? Kenapa ia tak ingin kupandang? Apakah aku telah kehilangan kesan lembut seperti dahulu saat kami merintis rasa? Dan kupikir tak perlu lagi menyimpan tanya. Semua harus terbuka, karena jalan panjang itu baru saja sepakat kami mulai.

Kusentuh dagunya agar tengadah. Dia tampak serba salah.

“ Dik, kenapa?”

“ Oh,..eh,..eng..enggak, Mas. Nggak papa”

“ Kamu lupa, aku suamimu sekarang?”

“ Ma...maaf, Mas. Aku.., aku..”

“ Bicaralah, dik..”

“ Aku,..aku..takut padamu, Mas”

“ Takut? Apakah aku menakutkanmu? Kenapa saat dulu tidak?”

Istriku kembali diam, mencoba membalas tatapanku, tapi kembali tundukkan wajah. Anak rambutnya sedikit luruh di keningnya. Indah dan cantik, tapi aku ingin dia berseri, bukan seperti gadis kecil yang ketakutan saat dimarahi.

“ Satu...dua...tiga,..masih ingin diam saja?”

“ Mas, aku minta maaf...”

“ Lho, maaf untuk apa, dik?”

“ Aku tak pernah mengatakannya padamu selama ini”

“ Maksudmu?”

“ Mas, kenapa sih Mas diam saja, tak bertanya padaku? Padahal aku yakin, Mas ingin tahu”

“ Apaan, sih?”

“ Malam pertama kita. Tak ada darah di sprei ranjang kita..”

“ Hm,..ya. Lalu?”

“ Mas, jangan menyiksaku. Kau pasti “menggugat” perawanku, kan?”

“ Hahahahahahaha.....”

“ Aku serius, Mas. Maafin aku, Mas memang bukan yang pertama menjamahku”

“ Hm. Jadi itu yang selama ini membuatmu aneh? Hahahaha...”

“ Mas...., tidak marah? Aku tak suci sebelumnya..”

“ Aku akan marah jika hal ini membuatmu seperti pesakitan..”

“ Mas....!?”

“ Kamu tetap suci buatku”

“ Makasih, Mas.....”

“ Tapi dengan satu syarat”

“ Syarat?”

“ Iya. Jangan kau tanya tentang keperjakaanku..”

“ Maksudnya, Mas juga sudah tidak perjaka?”

“ Huh,..masih berpura-pura. Bukankah kemarin malam kau yang merenggutnya?”

“ Hiiiih...”

Dia mencubit kecil perutku, lalu sandarkan diri di bahuku. Pagi ini kopi terasa nikmat sekali, istriku telah berseri kembali, tak ada lagi sikap aneh yang sebelumnya membuatku bertanya-tanya. Yang ada, semua pada dirinya adalah indah dipandang mata, demikian juga bahagia yang kami rasa.

Tampaknya pagi ini mentari tak hadir. Hari temaram serta gerimis rintik yang menyapa datang, kami sepakat beriring saling merengkuh. Hendak kembali ke peraduan, bulan madu ini masih akan panjang.

.

.

C.S.

Febr/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun