Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[25 Minutes] Tanteku, Kekasihku (2)

15 Februari 2012   09:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:37 3085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329298796985106031

[25 Minutes] Tanteku, Kekasihku (2)

: Chris Suryo

[caption id="attachment_161323" align="aligncenter" width="300" caption="image from google"][/caption]

Rumah Eyang di luar kota adalah tempat terbaik untuk melenyapkan gundah. Setelah sekian masa aku tak mampu juga memupus bayang-bayang Tante Uning, wanita yang tetap bersemayam di dada dan selalu hadir pada tiap tidurku yang sulit sekali lelap. Apalagi sejak kepergian kekasihku ini, yang menciptakan sejuta tanya dalam hati, tak pelak membuat dinginnya ikatanku dengan papa dan mama. Telah kucoba untuk lupa, namun wajah lembut penuh kasih itu justru semakin lekat dan membuatku sesak. Sekian lama semangat hidupku hampa dan lenyap entah ke mana. Tugas akhir kuliahpun tak juga mampu aku tuntaskan.

Seolah tak ada lagi keindahan yang melintas di depan mata. Semua redup, layu dan berwarna kelabu. Seharusnya aku tak seperti itu, tapi inilah kenyataannya, aku telah berubah menjadi lelaki muda yang kosong dalam melangkah. Lelah. Aku ingin berdiri lagi, tapi perih ini tak terperi. Aku berusaha sekuat hati, untuk melupakan namun semakin gundah mengenang.

Aku ingin sebuah kepastian, masih mungkinkah kami bertemu lagi. Atau masih adakah ruang untuk berharap bersamanya kembali? Jika aku bisa bersua, aku yakin kepastian itu akan ada. Entah akan membuahkan senyum dan tawa, ataukah kesakitan tiada tara. Hanya itu, aku akan mampu membuka lembaran baru, jika waktu mampu membuat aku dan Tante Uning kembali bertemu.

Tak urung, mama dan papa pun kembali terketuk rasa bersalahnya. Mungkin mereka tak menyangka, akan begitu parah kelesuan hidupku, anaknya. Masih kuingat suara lirih mama dalam isak, saat kemarin tak mampu menahanku untuk menepi ke rumah eyang, di desa.

“ Nak, kami benar-benar minta maaf. Tak semestinya saat itu menghalangi hubungan kalian. Sekarang semua terserah padamu. Kami sepakat memberi kalian restu. Carilah kembali cintamu itu, jika kalian bertemu, kami akan melamarnya untukmu. Hidupmu memanglah milikmu, Nak. Kami ingin melihatmu tersenyum kembali..”

Aku hanya terdiam saat mama mengucapkan itu. Meski sedikit ada setitik sejuk kurasa, namun sepertinya semua menguap ditelan keputusasaanku yang telah mengendap lama. Aku tak tahu lagi harus mencari kemana, mungkinkah kisah kasihku akan kembali mengguratkan bahagia, jika suatu saat aku bertemu dengannya? Aku memang ingin kepastian, namun jauh di lubuk sana aku takut dengan sesuatu yang menyakitkan, jika ternyata nanti semua telah berubah. Ah, aku harus siap, bertemu saja sudah merupakan kebahagiaan, aku tak peduli, entah apa yang akan ku alami nanti jika ada pertemuan.

“ Lho, mau kemana kamu, Le?” Eyang Kakung tampak bertanya heran ketika aku berdandan agak rapi pagi ini.

“ Ke Gereja, Yang. Aku sudah lama tak ke sana”. Aku memang kangen sekali pada suasana gereja kecil di desa Eyang ini.

“ Lah! Sudah telat dong, Le. Harusnya satu jam yang lalu kamu berangkat, kalau sekarang paling juga hanya kebagian salam berkat. Udah, bareng Eyang saja nanti sore, sekali-sekali ikut ibadat yang pakai bahasa jawa”.

“ Yah, nggak papa Yang. Aku Cuma kangen suasana damai di sana kok, aku hanya ingin berdoa saja di sana”

“Ya, sudah. Kamu memang lagi aneh, hati-hati ya di jalan”

“ Nggih, Yang”

Aku sungkem sejenak, dan berangkat berjalan kaki menuju Gereja kecil yang berjarak sekitar setengah kilo dari rumah kakek. Melintasi jalan desa yang di kanan kirinya teduh dengan rindangnya daun pohon pinus dan cemara. Segar dan tandas, kuhirup sejuknya udara, memenuhi rongga dada.

Aku ingin segera tiba di gereja kecil dan sederhana itu. Bukan saja ingin berdoa, namun lebih dari itu hendak sedikit merasakan kenangan rasa, seperti dahulu saat aku dan Tante Uning selalu bersama.

***

Sebelumnya aku telah yakin jika tiba di sini, suasana gereja telah sepi. Namun sebuah rasa berpijar berdebar ketika mendekat ke pintu jati sederhana itu. Gereja belumlah sepi, masih ada beberapa jemaat di dalamnya. Ada pembabtisan kah? Ternyata tidak.

Di depan tampak beberapa jemaat masih berkumpul bersalaman. Mereka berbaris memberikan ucapan selamat pada sepasang pengantin yang sepertinya telah usai menerima pemberkatan pernikahan.

Ada dorongan untuk menyeruak ke sana, ingin melihat kebahagiaan mereka yang akan menempuh hidup berkeluarga.

Tante.... Uning? Dadaku berdebar kencang, beribu jarum seperti menusuk tepat di rongganya. Kakiku goyah, lidahku kelu dan mataku hangat berkaca. Sosok yang selalu hadir dalam mimpiku itu ada di sana, menjadi mempelai wanitanya. Kugigit keras bibirku, ada rasa sakit dan asin lelehan darah, yang kuharap tidak terjadi, ini bukanlah mimpi. Ya, Tuhan. Itu kekasihku, Tante Uning. Dia tak berubah sekejappun, masih anggun dan lembut seperti yang dulu. Tampak bahagia dengan busana ratunya. Di sampingnya, seorang lelaki gagah meski tak lagi muda, lekat menggandeng tangannya. Ruangan ini penuh harum bunga.

Entah kemana segala kekuatan raga, kedua kakiku terasa lunglai. Susah payah, aku tertatih untuk duduk pada bangku panjang di hadapan mereka. Aku masih berharap, agar ada suara mama atau papa membangunkan aku dari tidurku. Namun semua tak juga tiba, hingga aku sadar ini bukan mimpi adanya. Oh, Tante Uning. Tak mungkin aku menjerit, semua harus kumampatkan, meski lelehan hangat dari mata yang merembes ke pipi cekungku, tak mampu kupungkiri.

Tak berkedip aku memandangnya. Tante Uning tampak semakin mempesona, ah, yang disampingnya nyata bukan aku, dia adalah pria lain yang telah menjadi suaminya. Hingga para jemaat yang mengucapkan selamat telah terburai usai, tatapku masih lekat, kosong.

Pandang kami bertemu. Tante Uning segera berubah dari cerianya. Sekilas pucat, lalu yang nampak mendung di wajahnya. Mungkin ia tak menyangka, sosokku ada dan nyata di hadapannya. Lalu dia membisikkan sesuatu pada lelaki itu. Sang pria mengangguk, menyingkir dan meninggalkan kami berdua. Aku dan Tante Uning.

“ Kamu..., di sini?”

“ Ya....”, Aku masih terpaku, lalu lunglai menatap wajahnya.

“ Maafkan, aku..., aku..”

“ Aku mencari Tante ke mana-mana”

“ Iya,..aku tahu, pasti kamu mencariku...”

“ Tante,..kamu,..kamu tega sekali...”

“ Maaf,..berat sekali...berat sekali..”

“ Tante.., aku..”

“ Sebenarnya..., aku masih berharap kau menemukanku,...tapi sebelum ini..”

“ Maksud Tante,..tante masih menunggu..aku?”

Air matanya mulai meleleh, isaknya menyelingi suara.

“ Iya,..sebelum aku memastikan pilihan ini...”

“ Aku,..aku terlambat..?”

“ Aku,..aku..tak tahu...”

Kami sejenak diam, saling memberi kesempatan menata rasa. Meski semua tak banyak berguna. Semua rasa telah pecah tak jelas bentuknya. Kandas.

“ Tante..., kamu bahagia..?”

“ Maaf, aku hendak memulainya,..sudah mulai ada..”

“ Tante..., selamat hidup baru.....”, ku jabat tangan halus yang dulu akrab di rambutku. Dingin sekali. Sebenarnya sangat ingin aku memeluknya, namun, namun sepertinya akan membangkitkan kesakitan yang menghujam kami berdua.

“ Maafkan aku,....kamu kuat kan?”

“ Tidak,...tak usah..”, aku hanya menggelengkan wajah, dia terlalu lembut merendah. Kurasa dia tak bersalah.

“ Kamu,..kamu...bahagia..juga,..kan?”

“ Tidak, Tante...., saat ini tidak...”, untuk apa aku berbohong, egoku pun ingin dia merasakan sakit ini.

“ Kuharap, suatu saat nanti....”

“ Mudah-mudahan, aku tak tahu..”

“ Pulanglah,...sudah siang”. Ah,..kenapa kata-kata itu kembali mengurai kenanganku, janganlah kau kejam dengan tetap menyayangiku.

“ Tante saja yang pergi, tinggalkanlah aku kembali, sekarang semua telah pasti”.

“ Kamu duluan, pulanglah..”

“ Tidak, tetaplah seperti saat itu. Aku tak pernah meninggalkanmu, Tante lah yang memilih meninggalkanku”.

Dia tercekat, menunduk, diam dan menangis. Lalu perlahan aroma harum itu mengikutinya berdiri, menatapku penuh rasa yang aku tak mampu mengurainya.

“ Selamat...tinggal, aku memang meninggalkanmu, tapi aku telah kehilangan”

“.............”, aku hanya mengangguk perlahan. Memandang lenggang anggunnya, menelusuri selasar deretan bangku-bangku panjang, lalu hilang di seberang pintu gereja.

Kini semua telah pasti, kekasihku benar-benar telah pergi. Entah bagaimana aku harus menghadapi kenyataan ini.

Di depan sana, sesosok wajah Agung menatapku penuh kasih, seperti sebuah bisikan lembut menerpa “, Pulanglah anakKu, hiduplah baru, KasihKu selalu bersamamu. Melangkah dan berbahagialah seperti dulu”.

Aku melangkah pulang, menyusuri tapak demi tapak jalan pedesaan. Kilas lembut suara Tante Uning masih selalu menyapa. Kesiur angin sejuk dan mentari terang membelai punggung lunglaiku. Seolah nyanyikan lagu manis yang menghias kenangan, sedikit menyuarakan kesamaan rasa, agar aku terhibur dan tegar untuk melangkah esok hari, di waktu kedepan.

After some time I've finally made up my mind she is the girl and I really want to make her mine I'm searching everywhere to find her again to tell her I love her and I'm sorry 'bout the things I've done I find her standing in front of the church the only place in town where I didn't search She looks so happy in her weddingdress but she's crying while she's saying this Boy I've missed your kisses all the time but this is twentyfive minutes too late Though you travelled so far boy I'm sorry you are twentyfive minutes too late Against the wind I'm going home again wishing me back to the time when we were more than friends

Out in the streets places where hungry hearts have nothing to eat inside my head still I can hear the words she said Boy I've missed your kisses all the time but this is twentyfive minutes too late Though you travelled so far boy I'm sorry you are twentyfive minutes too late I can still hear her say.......

***

.

.

Febr/2012

C.S.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun