[caption id="attachment_160255" align="aligncenter" width="400" caption="Pembangunan rumah sederhana. Sekarangkah saat tepat ambil KPR?"][/caption]
Saya menulis tentang hal ini bukan karena hendak berlagak menjadi seorang yang ahli dalam bidang ekonomi, terutama perbankan. Tapi memandang dari sisi pengalaman sebagai konsumen dengan dana pas-pasan. Ada juga sih, sedikit-sedikit pengetahuan standar yang sedapat mungkin tetap selalu berusaha belajar dari yang lebih pintar. Dan sedikit banyak tulisan ini terinspirasi dari berbagai artikel yang ditulis oleh saudara “seperguruan” Saya, yaitu Bung Budi Frensidy. Maksudnya seperguruan itu karena posisi Saya selalu berguru pada beliau lewat tulisan-tulisannya. Meski karena keterbatasan Saya, dari sekian banyak artikel ataupun bukunya itu mungkin hanya sedikit yang bisa Saya pahami (ora mudeng, apalagi yang hitung-hitungan,..he..he). Saya yakin juga, banyak kompasianer yang ahli dalam bidang ekonomi untuk tempat belajar, meski sedikit yang Saya ingat. Salah satunya yang Saya ingat dan yakin bahwa dia “ahli ekonomi/investasi” adalah Mbak Pratiwi Christin, karena dia ramah, pintar dan.....cantik.., he..he (ehm!).
Oke. Kembali ke keyboard. Kalau tidak salah, sekarang memang bunga acuan Bank Indonesia ditetapkan 6% sejak tahun kemarin (diturunkan dari tahun-tahun sebelumnya). Hal ini secara logika harus diikuti oleh bank-bank umum yang ada di negeri kita. Paling tidak jika mereka masih ingin bersaing dalam pengucuran kredit, maka seharusnya menurunkan pula suku bunga kreditnya, termasuk juga Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Jika tak salah lihat, kisaran suku bunga KPR yang diterapkan di bank-bank pengucur itu saat ini berkisar 8-10% per tahun.
Berkaitan dengan tingkat suku bunga yang bisa dikatakan rendah saat ini (jika dibandingkan dengan tren tahun-tahun sebelumnya), sepertinya memang tepat jika saat ini rekan-rekan atau keluarga muda yang ingin memiliki hunian/rumah memanfaatkan momen yang ada, demikian juga untuk yang ingin berinvestasi.
Saya masih ingat, ketika dahulu membeli RSS pertama kali melalui KPR di sebuah bank pemerintah, kalau tak salah tahun 2004. Bunga kredit yang dibebankan saat itu, padahal sudah termasuk subsidi di dalamnya adalah 14,5%, berlaku tetap untuk satu tahun. Di tahun berikutnya, saat subsidi itu lewat masanya, cicilan kredit yang harus Saya lakukan adalah menyesuaikan dengan bunga pasar. Siapa yang menetapkan? Jelas bank pengucur itu. Di tahun kedua, begitu cepat surat pemberitahuan dari bank itu bahwa Saya selanjutnya harus mengangsur dengan bunga 19,45 %, hebat kan?
Sepertinya banyak juga yang sudah mengalami. Ketika tahun-tahun berikutnya sebenarnya bunga pasar itu turun, jangan harap kita dalam waktu singkat mendapat pemberitahuan dari bank bahwa cicilan angsuran kita pun diturunkan bunganya. Disinilah pinternya bank, saat bunga naik tak mau rugi, saat bunga turun tak mau labanya berkurang. Yah, bukan membenarkan pola itu, tapi sepertinya mereka memang terbebani “tuntutan” untuk itu karena menyangkut laporan keuangan/rugi laba mereka nantinya, yang ada hubungannya dengan nilai saham dan keuntungan yang dituntut oleh pemegang sahamnya. Termasuk juga hal ini berlangsung di bank-bank pemerintah (BUMN).
Silahkan bank-bank itu dengan praktek bisnisnya. Kita sebagai konsumen, setelah sedikit membaca secara sederhana pola itu, sebenarnya wajar jika memanfaatkan momen rendahnya suku bunga acuan BI yang berpengaruh pula pada suku bunga KPR itu. Tentu saja bukan ingin membahas teman-teman yang mampu membeli rumah/property secara tunai, tapi khusus bagi yang dananya pas-pasan/harus mencicil seperti Saya.
Jika kita mengambil KPR saat ini, maka kisaran bunga yang akan kita dapat adalah 8%-10% bergantung bank mana yang akan kita pilih. Sudah jamak juga ada fasilitas subsidi baik melalui bank penyalur bahkan pengembang itu sendiri sehingga mungkin di tahun pertama atau kedua kita lumayan mendapatkan bunga murah sekitar 7%. Jikapun nanti kita harus mengikuti bunga pasar, yah, paling tidak berkisar 8%-10% itu kan?
Jika suatu saat bunga turun, jangan terlalu berharap ikut menikmatinya. Tapi paling tidak jika kita mengambil KPR itu saat ini, jauh lebih beruntung dari rekan-rekan lain (termasuk Saya) yang terlanjur mengambilnya pada tahun-tahun yang lalu saat bunga masih tinggi.
Sepertinya lebih baik juga (jika mampu/atau ada rejeki lebih), kita melunasi KPR kita pada tahun-tahun awal. Ada penalty sih, katanya. Tapi tetap lebih menguntungkan dibanding total bunga yang kita berikan kepada pihak bank jika kita melanjutkan sesuai standar.
Boleh juga di coba, bagi kita yang terlanjur mengambil KPR pada masa bunga tinggi untuk mengajukan permohonan kepada pihak bank agar KPR yang selama ini kita angsur diturunkan bunganya sesuai bunga saat ini (bukankah kita ada hak juga untuk itu? Seharusnya sih dikabulkan). Atau bisa juga berupaya mengajukan kredit baru dengan bunga yang berlaku saat ini serta jaminan rumah yang sama untuk melunasi KPR lama. Jadi yang kita angsur adalah cicilan sesuai bunga saat ini (lebih ringan). Saya belum mencoba sih,..lagi repot. Kalau Anda mau coba silahkan, atau malah sudah?
Kita sih tentunya berharap agar kondisi perekonomian negara ini stabil dan semakin membaik, yang tentu saja berpengaruh pada kestabilan suku bunga. Mudah-mudahan juga pihak bank bersedia “fair” juga agar tidak hanya bergegas memberitahukan nasabah ketika harus menaikkan cicilannya karena suku bunga naik, tapi juga bergegas menyampaikan kabar gembira saat cicilan seharusnya bisa diturunkan. Mungkinkah?
Mohon maaf jika pendapat atau istilah Saya banyak yang ngaco atau kurang tepat. Sebuah tambahan pengetahuan atau pencerahan dari rekan-rekan pasti diterima dengan sangat senang hati.
Salam KPR!
.
.
C.S.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H