Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

"Tempat Mandi" Ratu/Nyi Roro Kidul Itu Sudah Banyak Berubah

4 Januari 2012   05:56 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:21 3654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemandian Alam Tirta, Kedung Kebo.Di pojok kanan atas itu terdapat pancuran naga Dok-Pribadi

Sepertinya sekitar 15 (lima belas) tahun yang lalu terakhir kali Saya mengunjungi tempat ini. Yaitu sebuah tempat sejuk dan segar, berupa pemandian/kolam renang dengan matar air alami. Terletak di sebuah daerah/kampung yang sering di sebut sebagai “Kedung Kebo”. Berada di wilayah Kelurahan Pangenrejo Kec/Kab. Purworejo. Dahulu sering juga disebut sebagai Kolam renang 412, karena dikelola/gunakan oleh para anggota TNI dari Batalyon Infanteri (Yonif) 412 untuk berlatih. Posisinya berada di kawasan perbukitan yang hijau, berdekatan dan dari sana dapat terlihat aliran Sungai Bogowonto di bawahnya.

Masa muda ataupun kanak-kanak sering Saya habiskan di sini. Bermain bersama kawan-kawan sekampung, berenang ataupun sekedar bermain air. Saat itu kolam renang ini tidak terlalu serius dikelola. Keseluruhan dinding ataupun dasar kolam dibuat dari batu dan semen sederhana meskikokoh dan kuat, karena sepertinya merupakan bangunan air peninggalan jaman penjajahan Belanda.

Saat itu hanya dua buah kolam yang ada, yaitu kolam besar berukuran sekitar 20 x 50 meter dan yang satunya berukuran sekitar 10 x 20 meter. Kolam pertama terbagi atas tiga bagian berdasarkan tingkat kedalamannya yaitu 50 cm, 180 cm, dan 4 meter. Untuk batas pemisah kedalamannya hanya menggunakan tali/tambang plastik. Sedangkan kolam yang satunya berkedalaman 1 meter. Sumber air pemandian ini adalah mata air yang selalu mengalir dari perbukitan di atasnya, dialirkan secara sederhana dengan gorong-gorong.Tempat bilasnya pun dari mata air yang dibuatkan pancuran dari batang bambu.

Waktu Saya kecil, kolam ini pun sebenarnya tidak gratis untuk digunakan, meski tidak terlalu ketat sistem keluar masuk pengunjungnya. Dan untuk Saya dan kawan-kawan yang dahulu uang sakunya sangat terbatas, lebih memilih untuk “tidak bayar” alias “mbludus”/menelusup.Cara mbludusnya gampang, yaitu dengan terlebih dahulu mengguyur badan di pancuran yang terdapat diluar lokasi kolam, lalu dengan pede masuk melalui pintu depan/samping yang saat itu memang tidak berpagar. Jadi, meskipun pengelola/pengawas melihat, tidak akan curiga karena dia pikir kami sebelumnya sudah berenang dan membayar ongkos masuk, hanya keluar lokasi sebentar untuk jajan di warung yang berada di luar kolam. Jadi, kami lolos dengan mudahnya. Gratis dan selalu gratis, itu yang sering kami lakukan, meski kadangkala juga bayar...he..he. Tapi lebih banyak mbludusnya.

[caption id="attachment_153151" align="aligncenter" width="300" caption="Tak seperti dulu, sekeliling lokasi sekarang telah di pagar."]

132565547364998581
132565547364998581
[/caption]

[caption id="attachment_153152" align="aligncenter" width="500" caption="Kawasan perbukitan tetap hijau, pantas jika mata air terjaga.Menara ini juga tempat berlatih tentara, sepertinya masih berfungsi."]

13256556871035403240
13256556871035403240
[/caption] Satu hal yang sering menjadi mitos masyarakat sekitar adalah pemandian/kolam yang dianggap sebagai tempat mandi Ratu/Nyi Roro Kidul ini dijaga oleh seekor ular naga yang besar. Ada yang bilang bahwa ular besar itu adalah pengawal dari Penguasa Pantai Selatan (Ratu Kidul/ Nyi Roro kidul)). Pada masa-masa tertentu seringkali diyakini meminta “tumbal”, yaitu selalu saja ada yang tenggelam saat berenang. Yang sering dianggap sebagai tumbal karena meninggal/tenggelam saat berenang kebanyakan adalah pengunjung pendatang, bukan masyarakat sekitar. Namun, meski kami adalah anak-anak kedungkebo, tak pernah berbesar kepala dengan status itu. Hati-hati dan tidak ceroboh lebih penting daripada mitos.

Liburan akhir tahun ini Saya berkesempatan bernostalgia dengan tempat bermain masa kecil ini. Karena kebetulan Abang/kakak ipar Saya juga berasal dari daerah ini dan selama ini tinggal di sana. Maka keinginan anak-anak yang ingin sekali bermain air/berenang digenapi dengan saran kakak ipar Saya itu untuk mengunjungi kolam renang ini. Akhirnya sepakatlah kami lengkap dengan anak-anak masing-masing yang sebagian besar balita untuk berenang di sini. Didukung pula dengan rasa penasaran Saya untuk melihat seperti apa pemandian itu sekarang . Meski sebelumnya sempat ragu juga, di luar mitos itu, setahu Saya akses ke kawasan itu sulit untuk dilalui kendaraan roda empat, karena dahulu untuk menuju ke tempat itu Saya selalu berjalan kaki menyusuri sungai kecil dan pematang sawah.

“ Lho, Mas. Memangnya mobil bisa masuk? Ada tempat parkirnya? Kalau jalan kaki kan kasihan anak-anak?” tanya Saya pada kakak ipar.

“O, bisa. Pintu masuknya kan di belakang Yonif, samping Polsek, itu lho deket putaran patung pahlawan”.

Akhirnya kami sampai juga ke tempat tujuan. Benar juga, mobil leluasa masuk dan ada tempat parkir di sana meski tak terlalu luas. Ternyata memang kolam ini banyak berubah. Dari papan namanya saja, yang “resmi” tercetak, pemandian ini telah diberi nama. ALAM TIRTA, begitu namanya. Mungkin karena memang kolam ini mengandalkan mata air alami. Syukurlah, berarti dari dulu sampai sekarang mata air itu masih terjaga.

Dan sepertinya, ini hanya perkiraan Saya karena tidak sempat iseng-iseng ngobrol ke pengelola, kolam renang ini mulai di kelola dengan sedikit lebih profesional, mungkin tetap menjadi aset Yonif 412, namun menggandeng pihak swasta untuk mengelolanya. Dari atas bukit tempat parkir mobil sudah tampak terlihat jauh perbedaannya dibanding dahulu. Menuruni tangga yang menukik (dari dulu tangga ini sudah ada, namun sekarang sudah dipoles dengan baik) kami mendapatisudah terdapat loket tempat membayar tiket (Saya lupa berapa harga tiketnya, karena kakak ipar Saya yang terlebih dahulu membayar, yang jelas dibawah sepulu ribu rupiah). Saya lebih banyak tenggelam dan memandang sekitar tempat ini, karena banyak yang terlintas untuk dikenang. Sekeliling kolam ini sekarang sudah dipagar besi, jadi jelas sangat sulit untuk mengulang kebiasaan Saya dahulu untuk “mbludus” masuk ke dalam (he..he..tapi, baguslah, masak iya udah tua begini masih mau mbludus juga..).

Masuk ke dalam lokasi, Saya selalu sibuk mengedarkan pandangan. Membandingkan kolam ini dulu dan sekarang. Jelas beda, saat ini petak kolam sudah bertambah. Dua kolam yang dahulu masih ada, dan ditambah dua kolam dangkal untuk anak-anak. Yang jelas, semua kolam sudah direnovasi dengan material bangunan masa kini. Pohon besar di tengah tanah lapang, yang dulu sering saya pakai berteduh itu masih ada, entah berapa umurnya sekarang, disekitarnya tampak tempat kongkow, ayunan tempat bermain anak, dan juga kios-kios kecil yang tujuannya sebagai cafetaria.

[caption id="attachment_153153" align="aligncenter" width="600" caption="Pohon besar ini masih ada, entah sudah berapa tahun umurnya."]

13256561202126727477
13256561202126727477
[/caption]

Yang fokus Saya perhatikan adalah, mata air tempat berbilas dahulu masih ada. Namun fungsinya bukan lagi tempat bilas, karena tempat bilas, ganti baju dan lain-lainnya sudah disediakan tempat khusus. Pancuran itu telah dirombak total, sepertinya sebagai salah satu “icon” pemandian ini. Batang bambu sebagai pancuran jelas sudah tidak ada, berganti dengan sosok patung ular naga besar yang melingkar. Dari mulut patung naga yang menganga lebar itulah aliran air pancuran itu dialirkan. Di atas tubuh patung ular ini tampak patung lain, yaitu patung seorang wanita seperti sosok-sosok yang sering dilukiskan sebagai Ratu/Nyi Roro kidul. Dia duduk bersila di atas badan si ular. Indah dan menarik memang, bagi yang baru berkunjung, namun untuk yang sedikit tahu kemungkinan mengapa patung ini yang dibuat pasti ada sedikit membatin. Seperti yang juga saya perkirakan. Mitos itu sepertinya masih ada dan dipelihara. Tapi yang jelas, asal tujuannya untuk memelihara dan merawat, terutama mata air yang ada, tak ada salahnya. Mungkin sudah menjadi bagian dari budaya. Saya tetap menghormatinya, bukan masalah percaya atau tidak percaya, tapi alangkah baiknya tetap berpegangan kepada Sang Kuasa.Entah mengapa saat itu sama sekali tidak terlintas untuk mengambil gambar/foto patung ini. Bukan karena takut, yang jelas saat itu saya betul-betul lupa, padahal obyek yang lain cekatan Saya jepret melalui kamera handphone, kok bisa-bisanya yang satu ini malah lupa.

Sangat menyenangkan mengunjungi pemandian ini. Meski hanya sekedar menemani anak-anak yang bermain air dan belajar berenang. Dan tak lupa juga,...ehm..lirik-lirik pengunjung lain yang berenang, bukan yang laki-laki tentu saja,.. lumayan.. banyak yang asoy juga..he..he (untungnya istri Saya takut berenang, jadi hanya menunggu di tempat yang lumayan jauh). Paling tidak, Saya sendiri sangat menikmati kenangan yang pernah ada. Yaitu tentang masa kecil Saya. Meski ketika sampai di rumah, isteri Saya yang lumayan penakut dan berasal dari luar kampung Kedung Kebo ini agak ngedumel, saat kuceritakan tentang patung dan mitos-mitos itu. “ Lain kali, jangan ke situ lagi ah, Yah”.

Hm, aku kan juga masih anak Kedung Kebo, batinku.

.

C.S. (oleh-oleh pulang kampung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun