Tentu patut dihargai keberhasilan Badan Narkotika Nasional (BNN) yang bekerja sama (saling tukar informasi) dengan Badan Pengawas Obat-obatan AS (DEA) dalam menangkap dua orang warga negara Iran sebagai tersangka penyelundup sabu dalam jumlah besar hari rabu kemarin (26/2/2014). Disebutkan bahwa sabu itu ditimbun dalam tanah di kawasan hutan cagar alam Kampung Panyawelan, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Namun, bukan bermaksud mengecilkan prestasi tersebut, tulisan ini lebih tertarik untuk membahas katakanlah unsur kebahasaan yang menghiasi peristiwa ini. Mengambil sudut kecil pemaknaan dari ungkapan yang meskipun pada akhirnya nanti boleh dipandang tak penting atau tak perlu diperbesar lagi.
Diberitakan, dari kedua tersangka, BNN mendapatkan sabu seberat 60 sampai 70 kilogram. Deputi Pemberantasan BNN, Brigjen Dedi Fauzi El Hakim kurang lebih mengatakan bahwa sabu berkualitas baik itu harganya antara Rp.1,7 juta sampai dengan Rp.2 juta per gram. Jadi, nilai sabu tersebut diperkirakan ratusan miliar.
" Ini besar sekali, metamfetamin (sabu) itu harganya antara Rp 1,7 juta sampai Rp 2 juta per gram. Kalau seandainya ini 60 sampai 70 kilogram, (berarti) hampir Rp 140 miliar. Jadi harganya lebih dari harga helikopter Bell," kata beliau.
Andaikata kita (awam) tak mendapatkan informasi tentang helikopter Bell-412 EP lengkap dengan senapan mesin otomatis yang pernah dibeli TNI Angkatan Darat berharga Rp 104 miliar per unit, kemungkinan besar akan terbersit pertanyaan “Memangnya berapa sih, harga helikopter Bell?”. Jangankan dengan spesifikasi khusus, sedangkan jenis-jenis helikopter saja pasti banyak yang tidak mengerti, apalagi harganya. Helikopter ya helikopter, tak tahulah awam, yang mana itu jenis Bell ataupun Bull.
Lalu kenapa Brigjen Dedi Fauzi memilih membandingkan nilai sabu yang berhasil diungkap itu dengan harga helikopter? Ya, suka-suka beliau tentunya. Tapi, di sinilah menariknya untuk sekedar menganalisa apa kira-kira latar belakang pembandingan harga sabu dengan obyek yang bisa dikatakan kurang “umum” itu.
Kemungkinan pertama adalah adanya spontanitas dalam memilih obyek. Maksud spontanitas di sini adalah Brigjen Dedi menggunakan obyek helikopter sebagai pembanding harga sabu itu tanpa tendensi apapun, sebab yang terlintas begitu saja dalam kepalanya adalah Helikopter Bell. Bisa jadi karena beliau penggemar helikopter, baru saja membaca/melihat ulasan tentang helikopter, ketertarikan yang masih aktual terhadap helikopter itu, ataupun sebab lain yang menjadikannya tiba-tiba mengingat obyek itu.
Yang kedua adalah adanya makna tersirat dari pilihan obyek pembanding itu, karena dilatarbelakangi oleh keterkaitan pengalaman/riwayat ataupun harapan yang menjadi bagian dari proses berulang dari peristiwa yang terjadi terhadap kondisi selama ini. Jadi, dalam kata yang lebih mudah, bisa dinilai juga bahwa pilihan obyek Helikopter Bell sebagai pembanding harga sabu yang berhasil didapatkan itu bukanlah bermaksud ala kadarnya saja. Menjadi dugaan lazim bahwa yang berlangsung selama ini, para penyelendup narkoba menggunakan jalur laut-darat (perahu/kapal) Indonesia terutama yang terpencil untuk menjalankan kegiatannya. Menyeberangi laut, kemudian menembus akses daratan, menerabas kawasan hutan lalu menimbun sabu di tengah lebatnya hutan saja mereka tempuh, bayangkan jika para mafia narkoba itu memiliki helikopter (Bell). Dari sebagian sabu yang berhasil disergap itu, memang bisa diduga omzet para mafia itu cukup untuk membeli helikopter Bell (jika memungkinkan). Dengan menggunakan helikopter, asumsi secara sederhana adalah kegiatan para penyelundup narkoba itu akan semakin lancar dan sulit bagi aparat untuk menangkalnya.
Dalam sisi penginterprestasian yang lain lagi, membandingkan harga sabu yang didapat dengan harga Helikopter itu bisa pula dibaca sebagai keinginan agar prestasi BNN dalam menangkap penyelundup sabu dalam jumlah besar itu paling tidak dihargai senilai dengan harga sabu itu, yaitu sebanding/lebih dari harga Helikopter Bell, sehingga BNN pun pantas mendapatkan fasilitas Helikopter Bell tersebut guna pelaksanaan tugas-tugas operasionalnya.
Sekali lagi, tulisan ini bukan bermaksud mengecilkan prestasi BNN tersebut, namun hanya mencoba memilih bahasan dari sudut kebahasaan yang menghiasi peristiwa ini. Mengambil sudut kecil pemaknaan dari ungkapan yang meskipun pada akhirnya nanti boleh dipandang tak penting atau tak perlu diperbesar lagi. Yaitu mengapa harga sabu tangkapan itu dibandingkan dengan harga Helikopter Bell, obyek yang kurang familier dihadapan umum (awam). Bukan dengan obyek “mudah” yang lain seperti mobil, beras, biaya RS/obat atau yang lain. Atau cukup ditaksir nilainya, tak usah dibandingkan, biarkan masyarakat yang membandingkan.
Salam sehat.
.
.
C.S.
harga 70 kilogram sabu
dapat berapa ton kerupuk?
.
Inspirasi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H