Mohon tunggu...
C.H.R.I.S.  (Paknethole)
C.H.R.I.S. (Paknethole) Mohon Tunggu... Bapakne cah-cah -

Kiranglangkungipun Nyuwun Agunging Samudra Pangaksami.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bidadari Hampa

7 Juni 2014   19:18 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:49 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurasa, telah sekian lama layar tubuhnya kubuka, seluruh. Angkuh, seringainya menggoda. Dingin, menghina. Tiada selarik pun terucap kata. Detik demi detik, dan waktu demi waktu telah berlalu, hanya bercumbu dengan keindahan bisu. Aku tahu, jika kini adalah sepi, seharusnya mampukan aku, menuang ribuan cerita. Kalaupun itu sebuah rindu, mestinya menuntunku, untuk merangkai kisah cinta, berbuku-buku. Gelombang puisi pun pasti kan tercipta, dari sunyi yang menyapa. Tapi, sebuah hal yang nyata, jemari ini beku dalam balutan tanya tiada jeda. Ingin kusangkal meskipun tiada guna. Adakah sepi, rindu dan sunyi yang kini menemani? Sejujurnya bukanlah wujud itu. Yang ada, cengkeramnya menguasai rasa, membuaiku dalam ruang-ruang kelu. Degup dan detak lelah di dada, berbisik sama. Kuyakin semasa ini adalah kemarahannya, bidadari hampa. Aku terkurung olehnya dalam luka tak ternyana. Penuh peluh untuk terbang, lepas dari kuku-kuku peluknya.
Apapun yang terjadi, aku pernah berjanji, meski hanya dalam hati. Akan selalu hiasi hari dengan kisah-kisah tentang kita. Mungkin, janji itu telah beranjak pergi. Tapi, kukatakan padamu kini, segala janji tak akan pernah menepi. Maafkan aku yang tengah bergulat dengan ragu, meski sekedar hendak memulai satu kata lugu. Kuakui, ternyata tak semudah itu taklukkan dengan jarak dan waktu.
Kuketuk kembali pintu-pintu sepi. Terkuak sudah jendela-jendela sunyi. Lalu kukecup hangat bibir kerinduan. Sayangku, dalam perlahan, jemari ini tersenyum dan menari. Senada dengan irama-irama hati yang setia mengiringi. Nyanyikan bersama lagu-lagu tentang karang dan gersang. Hingga teduh pun tercipta dari rerimbunan, percik-percik mata air membasuh bebatuan, yang telah terurai kisah dahaganya.
Kurengkuh depa demi depa tubuh masa, kucipta sentuhanku pada kalbu, yang dulu hampa, dalam jamah rindu, tanpa selingkarpun belenggu. Semua keindahan bulir-bulir hujan asa dan bening sungai kasih yang mengalir, kubawa untukmu. Sebab, tak sedetik pun kan kuakhiri kisah-kisah cinta. Meski terlelap pun tetap kulayangkan, menyatu bersama mimpi-mimpi indahmu tentang kita. Di sana kan terbingkai nyata, tiada lagi angkuhnya jarak dan masa. Sudah kualunkan segala rayu. Dan bidadari hampa pun tersenyum teduh, melenguh luruh di dadaku. Berbisik mesra ia berkata,” Kau telah berdamai denganku.”
.
.
C.S.
Kala dada rasa hampa
7/6/14

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun