Lelaki itu sebelumnya merasa senja adalah sesuatu yang biasa saja. Tak ada yang istimewa. Di mana bedanya? Setiap hari hanyalah sama. Rutinitas alam, pergantian antara siang menuju malam. Dengan tanda sinar mentari yang meredup, dedaunan mengelabu sebelum temaram dan pendar lampu jalan yang mulai menciptakan bayang pepohonan, terkadang seperti tarian ketika datang tiupan angin yang membuatnya bergoyang.
Yang mudah ditebak adalah warna langit di ufuk barat, semburatnya aneh. Menurutnya itu adalah warna kuning kehitaman yang sedikit menyala. Seperti emas tapi bersemu merah. Banyak yang menyebut warna itu adalah jingga. Baginya entah, warna apa tepatnya, yang jelas kemilau itu hanya berlaku sebentar saja, lalu tenggelam berganti kegelapan. Jika langit berkenan, di sana akan muncul kerlip-kerlip bintang, kadangkala rembulan. Tentu saja nanti, ketika malam benar-benar telah datang.
“ Bagiku senja adalah satu-satunya keindahan yang kini ingin kunikmati “, gumam sang gadis yang mematung itu perlahan. Sebuah jawaban sama yang selalu ia berikan, ketika lelaki itu mencoba ajukan pertanyaan. Mengapa ia tak pernah melewatkan senja di pantai ini, meskipun hanya memandang, hampir tiada berjeda rehatnya kelopak mata, lalu tersenyum, tapi dalam balutan muram.
“ Kalau kau bosan, biarkanlah aku sendiri, tunggu saja di dermaga, senja ini tak akan lama”.
Tapi tentu saja sang lelaki bergeming. Ia mencoba mengerti dalam hening. Sedikit demi sedikit menyetujui bahwa sekejap waktu menuju tenggelamnya mentari memanglah indah. Namun yang lebih memantik keindahan itu adalah sebuah pesona, menalukan debar-debar di lubuk terlembut dalam dada. Siluet sang gadis di depannya. Dalam siraman semburat emas, ia menatap senja. Cantik. Di matanya ia seakan dewi yang menjelma. Tapi, lelaki ini pun semakin meyakini, danau kecil di pelupuk mata sang gadis adalah jawaban tentang tanya yang selama ini ia simpan, menunggu datangnya masa. Ia simpan sekian lama, sejak pertama ia menemani gadis itu kunjungi senja, dan tenggelamkan segala riang yang ia miliki ketika siang. Sebab senja selalu merubahnya menjadi mendung yang menyimpan hujan.
“ Sampai senja ini berakhir pun tak terlintas rasa bosan itu.Tapi ijinkan aku tahu alasan tangismu.”
Terlambat. Walaupun lentik jarinya berusaha mengusap air mata, tak mungkin dengan sejuta ketegaran ia mampu menyangkal kata-kata. Tiada alasan lagi untuk menyembunyikan luka. Lagipula, dia telah sekian lama menemaninya tiap kali senja tiba.
“ Bukankah,..itu tak penting bagimu…? ”
“ Tapi kau sangat penting untukku..”
Gadis itu sejenak terdiam. Mencoba melawan debar, namun sia-sia. Lelaki ini bukan sosok di masa lalunya. Bukan sosok yang dulu bersamanya, pecinta senja dan penghujam segala luka. Kini, ia ingin membuka pintu hatinya dalam doa.
Lalu debur ombak mengirimkan buihnya ke tepian pasir. Senja menjelang berakhir. Namun malam memberikan ruangnya kala kisah tentang cinta dan segala luka yang pernah ada terkisah oleh lirihnya bibir. Meski sesekali tersendat oleh kenangan-kenangan menyayat. Dalam jingga, pipi nan lembut adalah muara air mata. yang memang ingin mengalir. Tapi bahu yang teduh itu dengan sungguh menantinya berlabuh. Juga kerasnya buku-buku jemari, dengan tulus mengusap basahnya wajah.
Lelaki itu sebelumnya merasa senja adalah sesuatu yang biasa saja. Tak ada yang istimewa. Tapi kini, mungkin ia akan menjadi pengidam senja, seumur hidupnya. Baik senja di musim yang lalu, kini ataupun nanti. Bersama jelmaan dewi baginya yang telah menjadikannya berjanji.
Sekian lamanya engkau
Hidup seorang diri
Kuingin membalut luka hatimu
Di tepi pantai itu kini malam telah tiba. Dan mereka masih ingin di sana, saat rembulan memang pada musimnya datang.
****
C.S.
Senja, 5/2/14
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H