Nama Paulo Coelho, mungkin belum dikenal orang kebanyakan. Tapi tidak bagi para pencinta sastra. Ia adalah seorang sastrawan dan novelis. Seluruh novel dari pria kelahiran Rio de Janeiro Brasil, dan sekarang tinggal di Swiss ini sudah terjual lebih 225 juta copy.Â
Yang menarik dari pria yang sudah 40 membangun hidup rumah tangga bersama istrin-nya, Christina Oiticia ini, bukan saja membaca novel-novel-nya, tetapi juga mengenal perjalanan hidupnya dan filosofi-nya sangat menarik untuk dikenal. Tapi dalam tulisan kecil ini saya tidak akan mengulas dua aspek hidupnya ini yang tentunya butuh tidak sedikit halaman.Â
Apa yang ingin saya bagikan dalam tulisan ini adalah satu dua prinsip hidup-nya, kemudian dari princip hidup itu, kita coba menarik kesimpulan untuk mengenal ciri dan caracteristik seorang pemimpin yang baik dan benar. Â
Paulo Coelho terlahir sebagai seorang anak dari keluarga sederhana, berpostur tidak tinggi, dan bahkan sakit-sakitan. Dari keluarga Katolik yang setia dan mengenyam pendidikan di bawa asuhan para pastor Jesuit.Â
Diakuinya, bahwa pengaruh santo Ignatius, pendiri Ordo Serikat Yesus, cukup kuat dalam diri-nya. Namun, bukan berarti ia tidak mengritik metode pendidikan mereka. Demikian ia katakan: "Bagi saya, santo Ignatius itu menjadi rujukan utama, tapi para jesuit mengajarkan saya dengan metode yang sangat kategoris.Â
Artinya, apa yang mereka tekankan sebenarnya apa yang  tidak seharusnya diterapkan dalam dunia pendidikan. Yang mereka terapkan malah adalah larangan dan larangan: kamu tidak buat boleh ini dan itu; tidak bisa makan ini dan itu, dll yang serupa, sehingga saya pernah melewati masa dimana saya sedikit anti dengan gereja karena para imam yang sangat menuntut ini dan itu, padahal saya bukan tipe orang yang mau diatur. Saya selalu menghargai kebebasan saya sendiri. Saya pilih mana yang baik dan benar. Dan saya orang yang bertanggung jawab atas pilihan saya".
Kritikannya ini kemudian meluas ke ranah pendidikan umum dalam mempersiapkan pemimpim, baik dalam lingkup kecil maupun bangsa. Menurutnya pemimpin haruslah bukan orang yang tidak yakin dengan dirinya sendiri. "Saya orang yang yakin dengan diri sendiri; orang yang yakin dengan dirinya tidak akan menuntut pada orang lain, tapi ia akan memberi teladan".
Pemikiran pria yang pada usia 17 tahun pernah masuk dalam pusat rehabilitasi karena gangguan mental ini, sangat relevan dengan bangsa Indoensia sekarang yang sedang mencari pemimpin bangsa. Mari kita lihat.Â
Menurut-nya, pemimpin masyarakat harus orang yang sudah selesai dengan diri-nya sendiri; selesai dengan apa yang mengikat dirinya, entah itu materi, kebutuhan sosial dan kebutuhan afektif. Orang yang tidak lagi mencari materi atau uang akan selalu punya kemampuan berbagi dan memberi, sehingga tidak mungkin ia mau terlibat dalam lingkaran koruptif untuk memperkaya diri.
Demikian juga, mereka yang sudah bebas dengan kebutuhan sosial, tidak akan merasa terganggu bila dikritik. Karena kebutuhan sosialnya sudah sangat terpenuhi, mislanya, diakui, diterima, dipuji, disanjung, dll.Â
Orang yang kebutuhan ini sudah terpenuhi akan kerja tulus tanpa intrik egoistis dan ingat diri; tidak ambisius dalam mengejar kekuasaan; ia akan kerja dan kerja untuk membahagiakan orang lain. Atinya, menjadi pemimpin bukan lagi menjadi tujuan untuk memenuhi kebutuahn sosial-nya, melainkan membahagiakan dan menyelamatkan orang lain.