Jaringan teroris di Indonesia memiliki organisasi yang terstruktur dari mulai eksekutor di lapangan, operator, perencana, pendukung logistik, politisi hingga advokasi. Jika ada salah satu dari bagian itu yang tertangkap, maka bagian advokasi yang menamakan diri Tim Pengacara Muslim (TPM) langsung mengambil alih pembelaan.
Walaupun kini, modus tersebut mulai ditinggalkan karena banyaknya pelaku teror yang tertangkap oleh aparat keamanan dan telah dijatuhi hukuman yang setimpal namun ‘gaya teroris’ ini justru dijadikan pedoman bagi organisasi separatis di Indonesia seperti halnya organisasi Republik Maluku Selatan (RMS). Sebagai contoh, kasus aksi RMS di Ambon pada 25 April 2014 lalu, organisasi RMS di Belanda sudah jauh-jauh hari mengumpulkan dana untuk aksi yang dipimpin oleh Simon Saiya. Setelah dana terkumpul dilakukan rapat-rapat gelap di Ambon. Ketika rencana telah dianggap matang, pada hari yang telah ditentukan Simon Saiya dkk turun ke jalan membuat aksi mendukung separatis. Namun upaya tersebut terendus oleh aparat keamanan, yang berujung pada penangkapan. Hal inipun telah diantisipasi oleh tim advokasi RMS yang langsung turun tangan membelanya hingga proses sidang di pengadilan.
Melihat gelagat para terdakwa bakal terkena pidana makar, tim advokasi RMS memulai skenario untuk menggiring criminal justice system di Indonesia melakukan pelanggaran HAM terhadap para terdakwa. Caranya, dengan memberikan minuman keras (sopi) kepada salah satu terdakwa sebelum sidang digelar hingga yang bersangkutan tidak mampu menahan emosi dengan melontarkan kata-kata makian kepada para perangkat hukum yang ada sambil berteriak “Mena Muria” (idiom budaya Maluku yang dijadikan salam kebangsaan RMS).
Kejadian itu berimbas pada aksi kekerasan terhadap terdakwa oleh seorang oknum aparat keamanan yang merasa tidak terima dengan kondisi terdakwa yang mabuk dan tidak menghormati jalannya persidangan, meskipun oknum tersebut telah mengesampingkan profesionalitasnya sebagai aparat keamanan dan harus menjalani sanksi keras dari institusinya.
Amunisi inilah yang digadang-gadangkan oleh tim advokasi RMS bahwa penerapan hukum di Indonesia jauh dari kata menjunjung tinggi hak asasi manusia, dengan harapan masyarakat dunia internasional memberikan tekanan kepada Indonesia atas pelanggaran HAM yang terjadi.
Oleh karena itu, Pemerintah RI harus jeli melihat fenomena ini, khususnya pihak intelijen harus dapat membaca anatomi jaringan RMS seperti membaca anatomi jaringan teroris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H