Judul di atas adalah sebuah pertanyaan yang ada di pikiran semua orang di seluruh dunia ketika mengetahui hasil Pilpres 2020 antara Petahana Donald Trump melawan Joe Biden yang dilaksanakan pada hari ini tanggal 4 November 2020 dan hasil resmi mengumumkan bahwa Joe Biden resmi memenangi Pilpres 2020 setelah melakukan perhitungan melalui Quick Count setelah unggul tipis dengan presentase 51% untuk Biden dan 49 % untuk Trump dimana Biden unggul 2 juta suara, sekaligus secara non-resmi menjadikan Biden sebagai Presiden Amerika Serikat menggantikan Donald Trump.
Semenjak Trump memenangi Pilpres 2016 dan terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat yang ke-45 menggantikan Barack Obama, langit mendung segera menyelimuti negeri Paman Sam tersebut.Â
Kebijakan-kebijakan Donald Trump yang berbau rasisme dan diskriminasi seperti menutup perbatasan dengan Meksiko, melarang dan memblacklist orang-orang dari negara Timur Tengah seperti Yaman, Suriah, Afghanistan, dan Irak, mengakui Israel sebagai negara serta pernyataan-pernyataanya yang seringkali menyerang dan mendiskriminasi agama Muslim serta orang non kulit putih lainya seakan membawa sebuah kemunduran besar bagi negara Amerika Serikat.Â
Selama 4 tahun lamanya, masyarakat Amerika Serikat dibuat menderita dengan berbagai kebijakan-kebijakan Donald Trump. Bahkan pada Januari 2020, Trump sempat mengguncangkan dunia ketika dia mengumumkan bahwa Amerika Serikat berhasil membunuh Pemimpin Militer Iran, Jenderal Qassem Suleimani melalui serangan drone ketika sang Jenderal baru saja mendarat di Irak.Â
Tragedi pembunuhan tersebut adalah puncak dari hubungan panas antara Iran dengan Amerika Serikat yang pada akhirnya sempat membuat Perang Dunia III hampir saja terjadi. Beruntunglah, pandemi Covid 19 yang melanda dunia berhasil menghentikan ancaman dan kengerian Perang Dunia III tersebut.
Kehadiran Joe Biden dari Partai Demokrat yang pernah menjabat sebagai Wakil Presiden Barrack Obama dan kini muncul sebagai pihak oposisi untuk menantang Donald Trump dari Partai Republik segera membawa angin segar untuk publik Amerika Serikat yang haus akan perubahan.Â
Kebijakan-kebijakan Donald Trump yang kontroversial segera dimanfaatkan oleh Joe Biden untuk menyerang lawan politiknya dan dijadikan ajang kampanye dari Biden sendiri yang berjanji untuk "menyingkirkan" kebijakan Trump yang selama ini dianggap "non-manusiawi".Â
Dalam setiap kampanye pula, Biden dan sang cawapres Kamilla Harris seringkali mengedepankan hal tentang toleransi dan keberagaman yang selama ini tidak pernah terwujud oleh pemerintahan Trump. Bahkan dalam beberapa kesempatan kampanye, Biden seringkali mengucapkan "Inshaallah" dalam pidato kampanyenya. Bahkan, Biden berjanji akan memperkejakan banyak orang Muslim di pemerintahanya apabila beliau terpilih menjadi nanti.
Kampanye "cerdas" Biden tersebut seketika mengundang banyak dukungan publik dari masyarakat sipil, politisi hingga aktor dan aktris papan atas. Pertanyaanya adalah apakah jika Biden benar-benar resmi menjadi Presiden, apakah segalanya akan berjalan menjadi baik ? Apakah "angin segar" itu berhasil terhembus?
Berbicara tentang Joe Biden, sosok ini bukanlah sosok yang cukup baru dalam dunia perpolitikan di Amerika Serikat. Dalam usia 28 tahun, Biden terpilih menjadi anggota dari Newcastle County Council hingga menjadi Komite Hubungan Luar Negeri Senat dari tahun 2001 hingga 2009.Â
Pada saat menjabat sebagai Komite Hubungan Luar Negeri Senat inilah, Biden memiliki sebuah "catatan hitam" dimana Biden menjadi sosok yang menyetujui dan mendukung rencana invasi Irak pada tahun 2003 yang digagas oleh George Bush, Presiden Amerika Serikat saat itu untuk menjatuhkan pemerintahan diktator Saddam Hussein dengan alasan bahwa Irak memiliki "senjata pemusnah massal" meskipun hingga sekarang tidak terbukti kebenaranya.Â