Mohon tunggu...
Christopher lesmana
Christopher lesmana Mohon Tunggu... Atlet - Blogger

Christopherlesmana97@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bosporus Dreams (Bab II: Hagia Sophia,1965)

23 Agustus 2020   23:15 Diperbarui: 4 Oktober 2020   13:44 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Istanbul summitholidays.com

                                   Hagia Sophia

                          Sumber : dailysabah.com

Setelah beberapa minggu berada di kota ini, membuat saya menjadi jatuh cinta dengan negara ini. Saya sudah cukup sering mengelilingi kota Istanbul bersama-sama dengan teman-teman kampus saya yang kebanyakan adalah mahasiswa Turki asli, dan berkat mereka pula juga, saya juga mulai bisa menguasai bahasa Turki yang tentu saja itu menjadi sesuatu yang cukup penting untuk tinggal di kota ini karena hanya sedikit sekali yang bisa berbahasa Inggris. Kalau pun ada yang bisa, itu juga paling mahasiswa Turki dan beberapa staff rumah makan, namun itu juga hanya sekedar berbicara sedikit saja. Sebagai pecinta fanatik terhadap budaya dan sejarah, saya sering kali mengajak teman-teman mahasiswa Turki saya untuk menemani saya berkeliling kota Istanbul untuk mengetahui berbagai gedung-gedung peninggalan Konstatinopel dan Ottoman, dan mereka dengan semangat menceritakan sejarah peradaban masa lalu mereka yang luar biasa tentang kehebatan tanah kelahiran mereka yang sempat berpengaruh dalam sejarah dunia. Dari semua cerita tersebut, saya sedikit bingung mengapa kota dan negara ini tidak pernah bisa bersanding dengan Paris ataupun London. Saya mengerti Paris dan London adalah ibukota dari 2 negara yang pernah menguasai dunia di masa lampau, karena bahasa yang kita gunakan untuk berinteraksi dengan orang di seluruh penjuru dunia, sajian dan cita rasa makanan hingga style fashion yang kita gunakan hingga sekarang ini adalah warisan berharga dari kedua bangsa tersebut terlepas dari segala kekejaman dan cara mereka merampas setiap hak masyarakat dan sumber daya dari setiap negara jajahan mereka. Ah, tapi rasanya tidak perlu membicarakan itu karena intinya apa yang 2 bangsa lakukan tidak memberi pengaruh apapun terhadap kehidupan saya, keluarga saya dan juga teman-teman saya karena saya tidak pernah merasakan penderitaan yang pernah dialami oleh bangsa jajahan 2 negara tersebut. 

  Pada suatu hari, teman saya bernama Hasan yang merupakan mahasiswa asli Turki ini mengajak saya untuk mengunjungi Hagia Sophia, sebuah masjid  yang juga menjadi simbol dari pertarungan dan pengaruh antara agama Kristiani dan Muslim sebelum akhirnya dimenangkan oleh pihak Muslim yang menjadi agama mayoritas di negara ini. Sungguh konyol memang karena setiap hari setiap bangun tidur di pagi hari hingga tidur di malam hari, saya selalu menikmati pemandangan bangunan megah tersebut hanya melalui jendela namun tidak pernah berkesempatan untuk mengunjunginya. Ketika tiba di halaman Hagia Sophia, sembari berjalan masuk ke dalam, Hasan bertanya kepada saya dalam bahasa Inggris yang cukup lancar : “ Hey Martin, apakah kamu sangat cinta dengan negara ini? “. Saya pun menjawab : “Tentu saja, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya bertemu langsung dengan sebuah kota yang memiliki wujud seperti dalam mimpi.” Hasan kemudian berkata : “ Setidaknya saya beruntung karena kamu adalah orang Amerika, bukan Inggris ataupun Australia ataupun Prancis.” Mendengar perkataan Hasan, saya pun langsung terheran dan bertanya : “ Apa yang terjadi memang jika saya dari ketiga negara tersebut ?”. Hasan kemudian menjawab : “ Kalau kamu mempelajari sejarah teliti, kami pernah mengalahkan dan membunuh banyak prajurit dari ketiga negara tersebut ketika mereka hendak menguasai negara kami pada tahun 1918, itulah mengapa banyak yang mengatakan bahwa orang Inggris dan Prancis sangat alergi dengan hal yang berbau negara kami karena mereka trauma dengan kekalahan mereka di masa lalu.” Kemudian saya bertanya lagi kepadanya : “Tapi maaf, apakah kamu masih ada perasaan dendam dengan semua orang kulit putih terutama dari negara yang kau sebutkan tadi itu ?” Mendengar pertanyaan tersebut, Hasan pun tertawa dan berkata : “Tentu saja tidak, karena bagi saya apa yang terjadi di masa lalu biarlah berlalu, lagipula tak ada yang menghendaki supaya perang terjadi jika tanpa permainan politik para petinggi negara mereka. Justru saya senang jika mereka ingin berdamai dan memaafkan untuk apa yang terjadi di masa lalu terlebih apabila mereka berkenan untuk mengunjungi negara kami. Karena kami bangsa Turki sudah berjanji untuk tidak terlibat konflik apapun yang membahayakan rakyat kami.”

   Mendengar perkataan Hasan, saya menjadi cukup tertegun dengan apa yang menjadi prinsip bangsa ini. Sebagai orang kulit putih, terkadang saya cukup malu dengan semua yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa saya terdahulu. Mereka begitu serakah untuk menguasai dunia dan segala isinya serta merampok tanpa sisa sedikitpun. Saya yakin apa yang dilakukan oleh bangsa Turki pada 37 tahun silam bukanlah sesuatu yang salah karena mereka tidak ingin tanah kelahiran mereka bernasib dengan negara-negara Asia dan Afrika lainya yang harus merasakan penderitaan yang cukup dahsyat selama beratus tahun lamanya. Sembari masuk ke dalam bangunan dan melihat corak ornamen dan seluk beluk arsitektur gedung ini, Hasan kemudian berkata : “Sekarang coba lihat semua yang ada di dalam sini, apa saja nilai dan makna yang kamu dapati ?” Kemudian saya pun menjawab singkat : “Toleransi”. Kemudian sembari senyum, Hasan kemudian berkata : “ Selama beratus-tahun lamanya negeri ini diperebutkan dan dipertaruhkan atas nama agama dan Tuhan, akan tetapi kita tidak pernah melupakan prinsip dari nilai perdamaian dan kerukunan karena sejatinya semua manusia berhak untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan ideologi Ketuhanan yang mereka anut. Kami tidak pernah ingin membalas dendam untuk apa yang terjadi di masa lalu, biarlah sekarang semua keturunan bisa menikmati kebebasan pada hari ini.” Kemudian kami keluar dan berjalan sembari menyusuri sisi selat Bosporus, jujur belum pernah saya sedekat ini dengan selat ini, pemandangan sore hari yang cukup menakjubkan dan udara sejuk di bulan Oktober semakin menambah suasana yang cukup menenangkan. Hasan kemudian berkata : “ Tanpa selat ini, negara kita mungkin tidak akan pernah bisa menjadi seperti ini pula karena selat ini pula lah yang memberikan kami nyawa dan kehidupan. Coba bayangkan, apa yang terjadi apabila selat ini jatuh ke pihak musuh dan menguasai segalanya ?”

   Tak terasa, panggilan Azan Maghrib sudah menggema di langit Istanbul dan Hasan meminta izin untuk menunaikan kewajibanya sebagai umat Muslim. Bagi saya, hari ini sudah cukup bagi saya untuk membuka wawasan saya untuk mengetahui prinsip dan makna dari perdamaian yang diidamkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun