Aliansi Jurnalis Independen (AJI), diliput oleh tempo.co dan dipublikasikan pada 30 Januari 2017 pukul 23.00 WIB, menyebutkan bahwa kebebasan pers di Papua masih minim. Ada sepuluh kasus terbatasnya kemerdekaan pers yang dikatakan oleh Fabio Maria Lopes Costa, koordinator divisi advokasi AJI Jayapura.Â
Kesepuluh kasus itu adalah penghapusan foto dan video mengenai Gerakan Papua Merdeka, perusakan sarana liputan, pemukulan jurnalis, pelaporan ke pihak berwajib mengenai liputan yang dipublikasikan, dan pengusiran wartawan yang hanya sekedar ingin mengkonfirmasi narasumber. Dari sepuluh kasus yang menimpa jurnalis di Papua, tujuh di antaranya melibatkan aparat keamanan, pihak keamanan, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD).Â
Artinya, kasus-kasus tersebut melibatkan perangkat legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Presiden Jokowi sempat menanggapi topik mengenai terkekangnya pers di Papua. Media onlinekompas.com meliput tanggapan Presiden Jokowi. Presiden Jokowi hanya menanggapi dengan frasa, "Sudah ya". Gelagat-gelagat pemerintah terhadap pers di Papua menimbulkan banyak spekulasi. Posisi jurnalis di sana pun seolah berada di bawah powerpemerintah.
Jurnalis-jurnalis yang melakukan liputan di Papua hanya bisa terkena imbasnya seperti yang sudah ditulis di atas, seperti dipukuli, diajukan ke pihak berwajib, dan semacamnya. Mereka memang dilindungi oleh AJI. Jurnalis bisa diadvokasi melalui AJI ketika ada masalah dan dipublikasi melalui banyak media.Â
Namun, bagaimana kebebasan mereka ketika di lapangan? Dari sekian banyak pemberitaan mengenai kebebasan pers di Papua, mereka seolah tidak bebas untuk meliput karena adanya tekanan-tekanan dari pihak lain. Sementara ini, jurnalis di Papua hanya bisa menyuarakan pernyataan sikapnya dengan sarana demo, seperti di video berikut ini.
Belum ada aksi-aksi lain yang dilakukan jurnalis di Papua untuk menanggapi pengekangan pers. Secara normatif, memang sebaiknya jurnalis melaporkan tindakan-tindakan penyelewengan ke pihak berwajib. AJI juga punya wewenang untuk melakukan hal itu. Namun, mengapa aksi itu tidak dilakukan? Padahal, Dewan Pers juga sudah menyebutkan bahwa kondisi pers di Provinsi Papua tergolong agak bebas, dengan skor 63,88, dan Provinsi Papua Barat tergolong kurang bebas, dengan skor 52,56 (tabloidjubi.com).Â
Artinya, poweryang menekan jurnalis di Papua masih sangat kuat dan belum bisa ditembus. Kurangnya perhatian terhadap pers di Papua juga bisa menjadi salah satu alasan. Lihat saja, pemberitaan tentang kebebasan pers di Papua tergolong sedikit dan penonton video aksi pernyataan sikap di atas juga sangat sedikit. Berarti, saat ini pers di Papua memang masih tidak berdaya. Pihak-pihak luar lah yang bisa membuat pers di Papua berdaya dan lebih bebas, seperti AJI, mahasiswa, dan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H