Mohon tunggu...
Christian Wulung
Christian Wulung Mohon Tunggu... -

Seorang pelajar.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Catatan Perjalanan dari Kota Pelajar menuju Kota Seribu Satu Goa

6 November 2014   06:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:30 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rencana sudah dipersiapkan untuk berangkat ke kota paling barat Provinsi Jawa Timur, yakni Pacitan. Penulis dan satu teman berencana berkunjung ke Pacitan dari Yogyakarta BSPM (Berangkat Sabtu, Pulang Minggu). Maklum, waktu kami hanya sedikit karena sekolah hanya ada libur pada hari Minggu.

Kami berangkat ke Pacitan pukul 19.30. Dengan perasaan agak was-was karena jalan yang akan dilalui jalan gunung dan minim penerangan, kami memberanikan diri untuk berangkat berdua menggunakan mobil. Kami melalui Kota Wonosari kemudian diteruskan melalui Pojong, Pracimantoro, Giritontro, Donorojo, Punung, dan Pacitan.

Sensasi untuk memacu adrenalin sangat terasa setelah kami melewati Kota Wonosari. Jalanan yang semakin menanjak dan kadang menurun yang di kiri kanannya tebing. Tak ada penerangan jalan sama sekali sehingga kami harus memainkan lampu jauh. Kendaraan pun sangat jarang melewati jalan itu. Hanya ada satu atau dua mobil yang lewat, sepeda motor sangat jarang terlihat. Jalanan sangat mulus sehingga kami dapat memacu mobil hingga kira-kira 60 km/jam. Setelah melewati Pracimantoro, barulah mobil kami mengurangi kecepatan karena jalanan mulai jelek dan bergelombang. Sempat ada jalan yang ditutup untuk akses ke Pacitan di daerah Donorojo. Kami pun memberanikan diri untuk bertanya kepada kumpulan bapak-bapak yang kebetulan sedang nongkrong di pinggir jalan. Mereka menjawab pertanyaan kami dengan sangat ramah dan memberikan arah yang jelas. Kemudian kami melanjutkan perjalanan sesuai dengan arah yang diberitahukan bapak-bapak tadi. Masih dengan jalan yang bergelombang dan gelap gulita, namun ketika menemui jalan raya Wonogiri-Pacitan, jalanan sangat mulus dan terdapat penerangan lampion yang sepertinya dibuat warga sekitar untuk menerangi jalanan yang menikung. Tak ada hambatan sedikitpun. Itu artinya, tak perlu lagi takut dengan pemikira-pemikiran “jangan perjalanan malam ke Pacitan”, pasti akan menyeramkan dan berbahaya. Dibilang menyeramkan iya, namun tidak berbahaya karena lampu mobil dapat menerangi jalan dan ancaman bahaya dari orang-orang pun tidak ada, malah adanya orang-orang yang membantu perjalanan.

Dari Jalan Wonogiri-Pacitan, jalanan terus menanjak. Kira-kira belasan kilo jalan itu menanjak yang kemudian diteruskan jalan yang mulai menurun. Dari kejauhan telah terlihat kerlap-kerlip. Kami sadar bahwa kami sedang di atas bukit dan kerlap-kerlip itu adalah Kota Pacitan! Kami semakin semangat memacu laju mobil. Hingga akhirnya kami menemukan gapura besar bertuliskan “Pacitan Kota 1001 Goa”. Rasa tidak percaya dan kagum menyelimuti malam itu. Dua orang ABG dapat melewati bukit yang gelap gulita di tengah malam dan akhirnya bisa menemukan kota kecil nan indah di balik bukit. Kami pun bertanya kepada polisi, apakah ada pantai yang masih buka ketika arloji menunjukkan pukul setengah 12 malam itu. Kami pun diberitahukan arah menuju Pantai Teleng Ria yang katanya ramai untuk anak muda yang sedang nongkrong. Kami pun segera ke sana, memarkir mobil, dan ditemani oleh suara ombak, kami pun beristirahat di mobil.

Pukul 6 pagi kami bangun dan langsung menghirup udara segar Pantai Teleng Ria. Sungguh indah dan menyejukkan hati ketika membuka mata dan langsung merasakan keindahan alam yang sangat asri. Kami pun melihat-lihat Pantai Teleng Ria dengan mobil. Ternyata pantai itu kotor karena banyak sampah yang berserakan di pasirnya yang putih. Banyak orang yang tidak bertanggung jawab dengan membuang plastik, botol minum, puntung rokok, dan berbagai jenis sampah di sepanjang pasir Pantai Teleng Ria. Karena sudah tidak terlihat menarik, kami pun memutuskan untuk pindah pantai yaitu Pantai Klayar.

Kurang lebih 20 km ke barat kami melakukan perjalanan menuju Pantai Klayar. Jalannya pun bermacam-macam. Awalnya beraspal mulus. Ketika masuk ke jalan utama menuju Pantai Klayar, jalan menjadi sempit. Untuk dilewati dua mobil saja harus bergantian. Banyak tanjakan sangat tajam dan berkelok-kelok. Di sisi kanan dan kiri adalah tebing batu kapur yang sedang dalam proyek pelebaran jalan. Maka tak heran, jika jalan menjadi kecil, bergelombang dan penuh dengan debu. Penuh perjuangan dan dibutuhkan konsentrasi yang besar untuk sampai ke Pantai Klayar.

Sampai di Pantai Klayar, kami hanya bisa membuka mata dengan mulut yang juga terbuka tanpa sadar. Sungguh indah Pantai Klayar. Pasirnya sangat putih, ombaknya besar berwarna biru bersih, dan sangat jarang ada sampah walaupun banyak pengunjung di sana. Di sisi timur pantai, ada batuan-batuan besar dan tinggi yang dapat dinaiki untuk melihat pemandangan dari atas. Daerah batuan itu disebut seruling samudera. Di seruling samudera ada hal yang menarik. Terdapat bagian batu yang bolong melintang sehingga terbentuk seperti oval. Dari bolongan tersebut sering keluar angin-angin yang berhembus ke atas yang semakin lama semakin kuat berhembusnya sehingga menghembuskan air dari bawah.

Kami meninggalkan Pantai Klayar sekitar pukul 10 pagi. Kami pun mencoba menuju Pantai Ngiroboyo, namun pantai itu sangat sepi dan airnya juga tak jernih. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Gua Gong, tapi ternyata banyak sekali pengunjung yang ingin masuk dan antre sehingga kami memutuskan untuk langsung kembali ke Yogyakarta.

Kami mencoba melalui jalur lain yaitu melewati Wonogiri. Jalanan lebih lebar dan tidak terlalu berkelok, namun bergelombang dan beberapa rusak. Kami juga agak tersesat karena kami tidak melewati Sukoharjo, tapi melewati pedesaan yang tembusnya langsung ke Kota Klaten. Melewati jalur ini lebih lama dan membosankan karena jalannya yang tidak bervariasi, namun lebih ramai karena jalan ini adalah jalan utama untuk bus, truk, dan angkutan umum lainnya. Kami pun sampai di Yogyakarta pukul 5 sore. Sungguh pengalaman yang melelahkan namun menyegarkan jiwa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun