Film adaptasi sering sekali menjadi cerita yang disorot dalam mengusung cerita dalam penulisan kembali naskah yang sudah ada. Tidak jarang adaptasi ini mengalami dualitas penerimaan . Sukses besar atau justru gagal memenuhi ekspektasi. Dalam artikel ini, kita akan membahas kesuksesan dan kegagalan film adaptasi "Miracle in Cell No. 7" serta faktor yang mempengaruhinya. Â
Film "Miracle in Cell No.7" Â yang tayang pada tahun 2022 merupakan salah satu film adaptasi dari film Korea Selatan menjadi berbagai versi Internasional, termasuk Indonesia. Film adaptasi ini sering sekali menjadi sorotan karena mengangkat cerita yang inspiratif dan menyentuh hati. Film Miracle ini tayang di banyak negara dengan adaptasi yang disesuaikan dengan kondisi negara tersebut. Di Indonesia, film ini mendapat apresiasi dari penonton karena salah satu faktor utama kesuksesan film ini adalah kekuatan asli cerita yang relatable dan penuh emosional dalam tema keluarga. Penonton dapat merasakan ikatan emosional yang mendalam melalui karakter dari talent yang ditampilkan dan diperankan.Â
Keberhasilan adaptasi ini juga dipengaruhi oleh adanya kualitas produksi. Pada versi Indonesia, pemahaman dan konsistensi terhadap detail produksi, sinematografi, dan akting para talent menjadi point penting dalam penyampaian kesan dan pesan dalam film yang ditampilkan. Talent seperti Vino G. Bastian berhasil memberikan performa yang klimaks dan memulai, membawa dimensi baru pada tokoh utama tanpa kehilangan esensi cerita asli. Penggarapan backsound yang mendukung suasana emosional yang diperankan juga menjadi faktor yang berkesinambungan dengan emosional penonton.Â
Namun, dibalik keberhasilan yang ada, tidak semua adaptasi film ini berhasil. Ada beberapa versi yang justru mendapatkan kritik pedas karena gagal menangkap esensi cerita asli. Contohnya yang terjadi pada kasus dimana adaptasi ini terlalu berusaha "menjual air mata" dari talentnya sehingga kehilangan keseimbangan antara emosi dan logika. Penonton saat ini cenderung lebih kritis terhadap manipulasi emosional yang terkesan berlebihan sehingga menjadi umpan balik bagi perfilmannya.Â
Faktor lain yang menjadi penyebab kegagalannya yakni kurangnya inovasi dalam penciptaan kembali naskah yang ada. Ketika sebuah adaptasi hanya mereplikasi film aslinya tanpa memadukan dengan perspektif baru, maka penonton hanya merasa bahwa film tersebut hanya plagiasi dan menerjemahkan sesuai negara dan tidak memiliki keunikannya. Konteks dalam budaya juga memiliki peran penting. Ketika adanya cerita adaptasi, elemen-elemen budaya yang tercipta dari cerita asli perlu disesuaikan agar terkesan lebih relevan dengan penonton lokal.Â
Jika dalam kasus adaptasi gagal dalam melakukan penyesuaian budaya lokal, maka sulit diterima oleh audiens. Sebaliknya jika adaptasi mampu memadukan dengan budaya lokal, maka dapat dipastikan film tersebut berhasil seperti versi Indonesia yang tetap berfokus pada naskah aslinya namun tidak lupa menghadirkan budaya lokal yang relevan tanpa menghilangkan pesan universal cerita aslinya.Â
Dari adanya adaptasi film "Miracle in Cell No.7" ini mengajarkan bahwa kreativitas dalam menafsirkan kembali suatu cerita yang sudah ada adalah kunci utama kesuksesan film. Tanpa melupakan penambahan budaya lokal untuk menambah kesan relevan bagi para penonton lokal. Tidak cukup hanya dengan penambahan budaya, perlunya juga memahami kebutuhan emosional dan menyampaikan pesan universal secara autentik. Ketika faktor-faktor ini dapat dikelola dengan baik, maka adaptasi yang terjadi dapat menjadi karya yang bukan hanya menghormati sumber asli, tetapi juga memberikan pengalaman baru yang berharga bagi penonton. Dengan demikian, adaptasi film menjadi jembatan budaya yang memperkaya pengalaman menonton, baik bagi penggemar cerita ai ataupun penonton baru.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H