Sean Sugito, nama itu tak pernah saya kenal langsung. Tahu namanya setelah googling mengenai Pantai Tongaci, satu-satunya lokasi Penangkaran Penyu di Bangka. Dia adalah pemilik proyek penyelamatan generasi para punggung batok tersebut. Bermula dari rasa prihatin atas menyusutnya populasi penyu, dia memulai penangkaran penyu sekitar tahun 2009. Di tanah kelahirannya, dia tak lagi bisa melihat suasana seperti masa kecilnya, dimana banyak penyu bertelur di sekitar Pantai Tongaci.
Mulanya lokasi penangkaran itu tertutup, dibuka untuk umum sejak Januari 2015 dan diresmikan pada tanggal 8 September 2016 oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam sebuah event bertajuk Bangka Culture Wave 2016. Kini lokasi tersebut ramai dikunjungi oleh wisatawan, apalagi setelah dilengkapi dengan fasilitas olahraga air seperti jet ski, banana boat, kite surfing, dan sebagainya.
Terdapat ratusan tukik jenis Penyu Hijau dan Penyu Sisik beragam ukuran yang dibesarkan di  beberapa kolam tepi pantai. Terdapat juga keramba besar untuk pembesaran penyu-penyu tersebut. Sebuah kolam besar berisi puluhan penyu dewasa menjadi obyek menarik dan edukatif bagi anak-anak kami.
Bagitu masuk, bangunan pertama yang akan dijumpai adalah Museum Garuda. Museum ini berisi koleksi barang-barang mulai dari keramik, alat musik, elektronik, peralatan perang, hingga kendaraan. Ingat, barang-barang tersebut tidak bisa disentuh dan tidak boleh difoto! Setelah melewati museum, berikutnya adalah galeri seni, perpustakaan, toko barang antik, kafe plus musik, kompleks patung tentara China yang diberi nama Terracotta Army.
Galeri seni lokasinya berhadap-hadapan dengan toko barang antik. Di galeri saya menyaksikan banyak koleksi lukisan lama, kebanyakan lukisan tokoh-tokoh bangsa dan juga berbagai model burung garuda yang biasanya banyak saya temukan di Bali. Sementara di toko terdapat ratusan benda-benda antik dan kuno yang tak ternilai harganya. Ada lukisan, patung logam maupun batu giok, alat musik, dan sebagainya. Mencoba menanyakan harganya, kami tak berani, karena pasti sangat mahal.
Di sebelahnya lagi adalah kompleks patung binatang. Ditulisnya Animal Park (kebun binatang), padahal isinya cuma patung-patung binatang. Ada patung gajah, monyet, harimau, dan masih banyak lagi. Jumlahnya kira-kira ratusan. Bisa dipahami sich, kenapa pemilik menamakan itu animal park. Mimpinya barangkali tempat itu berisi berbagai jenis binatang sungguhan yang selain langka juga bisa menghibur. Tetapi kebayang gak sich, memelihara binatang di lokasi pantai seperti itu? Selain cost-nya akan sangat mahal, saya yakin binatang-binatangnya juga tidak akan bertahan hidup lama karena cuaca dan lingkungan yang tidak mendukung.
Satu hal yang saya catat dari wisata singkat saya di Pantai Tongaci, tempat ini memadukan konsep konservasi dengan pariwisata. Satu sisi konservasi pasti memerlukan biaya yang tidak sedikit; di sisi lain, wisata akan mendatangkan keuntungan. Konservasi tak akan berlangsung lama  jika tidak ada support ekonomi. Demikian juga, kegiatan ekonomi tak akan sustainable jika tanpa memikirkan aspek-aspek keberlangsungan lingkungan hidup bukan?
Menjorok lebih ke arah pantai, tepatnya di seberang halaman museum Garuda, terdapat kompleks patung tentara China. Patung-patung itu berseragam mirip dengan tentara kerajaan dalam film-film China yang pernah saya tonton. Jumlahnya sampai hampir ratusan. Saya sendiri belum paham mengenai filosofi keberadaan patung-patung itu. Tapi yang jelas, pasti mengandung banyak nilai filosofi Tiongkok.