Â
Daerah itu, dulu namanya Ujung Malang. Kemudian atas usulan Wakil Presiden Adam Malik (1970-an) diganti namanya menjadi Ujung Harapan. Tentu untuk menciptakan perasaan positif menyebut nama daerah itu; jika tadinya identik dengan kemalangan, maka berganti dengan penuh pengharapan. Di situlah muasal KH Noer Alie (lahir 1914), ulama besar yang mampu menjadi penggerak perlawan terhadap kolonialis Belanda.
Jikalah bukan sosok besar yang berhasil menggerakkan masyarakat secara meluas melakukan perlawanan, tentulah Chairil Anwar takkan membuat puisi khusus berjudul "Karawang-Bekasi". Dari pusat pembakaran semangat perlawanan di Surabaya, Bung Tomo juga selalu menyebut nama itu dalam orasi-orasinya yang disiarkan langsung melalui radionya. Karena keberaniannya, sosok itu dijuluki dengan sebutan Singa Kawarang-Bekasi.
Beliau meninggal tahun 1992, namun aura kebesarannya masih terasa sampai sekarang. Pesantren yang ditinggalkannya Perguruan Attaqwa adalah salah satu lembaga terbesar di seantero Jawa. Perguruan itu memiliki 156 sekolah mulai dari tingkat TK sampai dengan Sekolah Menengah yang tersebar di seputar Bekasi dan Jakarta. Bayangkan, seratus limapuluh lebih cabang sekolah.
Sewaktu aktif di gerakan mahasiswa saya sering bolak-balik main ke pesantren itu. Kebetulan salah satu cucunya adalah sahabat yang pernah satu kepengurusan di organisasi ekstra kampus. Tetapi perkenalan mendalam terhadap sepak-terjang sosok KH Noer Alie baru belakangan ini, setelah saya dikasih buku oleh Pak AM Fatwa. Buku itu disusun oleh AM Fatwa sendiri, merupakan kumpulan beberapa tulisan mengenai sejarah perjuangan Pahlawan Nasional KH Noer Alie. Saya yang orang Jawa Tengah dan nyantri di Jawa Timur tentu lebih banyak kenal dengan kisah-kisah perlawanan para kyai di Jawa Timur. Namun dengan membaca buku itu, saya juga tahu bahwa ternyata perlawanan KH Noer Alie juga berkoordinasi dengan KH Hasyim Asy'ari di Jawa Timur.
Perlawanan yang digerakkan oleh Kh Noer Alie sezaman dengan resolusi jihad Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari yang berhasil mengobarkan semangat arek-arek Surabaya menumbangkan tentara sekutu. Dikisahkan, dalam pertempuran-pertempurannya, pasukan yang dibina oleh KH Noer Alie minim senjata. Kekuatan senjata yang dimiliki kalah jauh dengan persenjataan yang dimiliki oleh tentara Belanda.
Lalu berkirimlah utusan ke Jawa Timur untuk meminta bantuan persenjataan. Alih-alih mendapatkan bantuan senjata, perlawanan di Jawa Timur juga sedang mengalami krisis persenjataan. Atas permintaan tersebut, Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari tidak mengirimkan senjata melainkan wirid (bacaan) bernama hizbunnashr. Wirid itu musti bacakan oleh para murid KH Noer Alie selama tujuh hari sambil berpuasa. Meski tak berbentuk senjata fisik, wirid hizbunnashr adalah senjata spiritual yang kekuatannya lebih dahsyat dari pada laras senjata milik tentara Sekutu bawaan Belanda. Buktinya, perlawanan yang dilakukan oleh murid-murid KH Noer Alie mampu membuat kocar-kacir tentara NICA itu.
Membaca kehidupan sosok KH Noer Alie, saya melihat beliau bukan sekedar sosok petarung, melainkan juga pemimpin. Zaman itu, era dimana ilmu-ilmu kanuragan menjadi alat untuk menggapai kedigdayaan dan kemuliaan, Noer Alie muda tak sekedar lihai dalam pertarungan. Sosok Noer Alie muda adalah sosok yang mampu menggerakkan anak-anak muda disekitarnya untuk bersama-sama bergerak melakukan perlawanan. Kemampuan menggerakkan ini tentunya takkan muncul jika ia bukan orang yang terdidik.
Pendidikan! Itulah kata kuncinya. Sejak mulai kecil terbiasa dengan tradisi pendidikan yang kuat. Berasal dari keluarga yang peduli dengan pendidikan anaknya, KH Noer Alie sudah mengarungi pendidikan sejak sebelum usia 6 tahun dari keluarganya sendiri. Setelah itu, barulah ia mengenyam pendidikan di berbagai lembaga pendidikan di luar keluarganya dan bahkan sampai ke luar kampungnya.
Pun, selesai menamatkan pendidikan menengah, meski dengan bekal materi yang sangat terbatas ia membulatkan tekad menempuh pendidikan di luar negeri. Ia bahkan harus ngutang kepada seorang toke keuturuna Tionghoa bernama Wat Siong demi untuk bisa berangkat menempuh pendidikan di Makkah. KH Noer Alie menjalani pendidikan di Makkah selama 6 tahun.
Selama tinggal di sana, ia tak hanya berkutat di kelas-kelas pembelajaran saja, tetapi juga aktif dalam organisasi. Ia aktif dalam Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia (Perindo), dan Perhimpunan Pelajar Indonesia-Malaya (Perindom) di sana. Di situlah kemapuan leadership-n ya tumbuh dan jaringannya meluas. Melalui interaksi di organisasi itulah sosok KH Noer Alie mengikuti perkembangan politik dalam negeri dan meneguhkan semangat untuk memerdekaan bangsanya yang terjajah bangsa lain.