[caption caption="Masjid dan Klenteng berdampingan di Muntok (Dokumen Pribadi)"][/caption]Namanya Sulwesyadi, umurnya 61 tahun. Dulu kakeknya berasal dari Jawa, merantau mengikuti kapal dari Bugis yang akhirnya berlabuh di pantai Muntok, pulau Bangka. Ceriteranya, muasal nama Sulwesyadi berasal dari kakeknya itu. Sulwesyadi berasal dari kata Sulawesi dan Yadi, Sulawesi merupakan pulau asal orang Bugis dan Yadi adalah nama umum bagi orang Jawa. Ketika saya tanya, apa arti kata Yadi? Dia tak bisa jawab, dia hanya bilang bahwa itu nama orang Jawa. Ibunyalah yang asli orang Muntok.
Sampai di sini, saya tak bermaksud melanjutkan cerita siapa siapa Sulwesyadi. Cukup sampai di sini saja. Saya justru ingin cerita mengenai keberadaan Masjid dan Klenteng yang berdiri persis berdampingan di Ibu Kota Kabupaten Bangka Barat yang bernama Muntok. Pak Sulwesyadi adalah penjaga Masjid, yang darinyalah saya menggali informasi singkat mengenai sejarah keberadaan masjid dan klenteng yang persis berdampingan selama lebih dari seratus tahun itu.
Kita seakan-akan baru belakangan bicara toleransi, soal persaudaraan antar iman, dan hidup damai dalam keberagaman, setelah rajutan tali persaudaraan sebangsa dikoyak oleh sebetulnya jumlahnya tak banyak tetapi suaranya lantang. Padahal, muasalnya bangsa ini justru terlahir dari semangat persaudaraan dalam keberagaman itu. Masjid dan Klenteng di Muntok ini adalah salah satu bukti otentiknya. Keberadaan dua tempat ibadah ini membuktikan bahwa masyarakat Muntok sudah mempraktikannya toleransi sejak ratusan tahun lalu.
Alkisah, Masjid Jami' Muntok dibangun pada tahu 1883 M. Klenteng Kong Fuk Miau yang lokasinya persis di sampingnya, dibangun sekitar 10 tahun lebih dahulu. Tukang-tukang yang membangun masjid adalah tukang-tukang yang sama dengan yang membangun klenteng sebelumnya. Jadi setelah menyelesaikan pembangunan klenteng, mereka lanjutkan dengan membangun masjid.
Demikian juga dengan material untuk membangun masjid, adalah material yang sama untuk membangun Klenteng. Menurut Pak Yadi, lantai masjid yang terbuat dari marmer yang didatangkan khusus dari Italia adalah sumbangan langsung dari jamaah Klenteng pada waktu itu. Lantai itu masih terawat sampai sekarang. Jika dilihat dari kualitasnya, tak ternilai harganya. Pasti sangat mahal. Dari sisi arsitektur, menara Masjid desainnya mirip dengan menara-menara Klenteng Tionghoa pada umumnya.
Sore ini, saya sungguh beruntung singgah di tempat ini. Sebenarnya tujuan utama saya ke Muntok bukan ke tempat ini, melainkan berkunjung ke Bukit Menumbing, tempat dibuangnya Presiden Soekarno bersama para pendiri bangsa lainnya saat zaman penjajahan Belanda dulu. Tapi di tempat ini seperti bonus buat saya.
Pak Yadi melayani serbuan pertanyaan-pertanyaan saya dengan penuh antusias. Katanya, di Muntok ini tak mengenal istilah konflik antar agama. Toleransi terpelihara sampai sekarang sejak ratusan tahun lalu. Makanya Pak Yadi heran, koq di tempat lain orang pada berkelahi gara-gara beda agama, sementara di sini dari dulu tenang-tenang saja. Tak pernah ada konflik.
Tak hanya sekedar hidup berdampingan, bahkan saling bekerjasama. Jika akan menyelenggarakan acara besar keagamaan, antar pengurus kedua tempat ibadah itu saling koordinasi. Pihak Klenteng, jika akan menyelenggarakan acara keagamaan besar seperti Cap Go Meh, pasti keramaiannya dielenggarakan setelah waktu sholat, sehingga suara-suara musik dari acara tidak mengganggu kekhusukan sholat. Masjid bahkan menyediakan tempat parkir jika klenteng sedang punya hajatan besar dan mendatangkan banyak tamu.
Meskipun jumlah Muslim jauh lebih banyak dari pada penganut Budha, tetapi bukan serta-merta Muslim seenaknya saja menjalankannya acara-acara keagamaan. Pengurus masjid membangun komunikasi intensif dengan pengurus Klenteng. Sebagai penjaga Masjid, Pak Yadi menyatakan bahwa dirinya adalah salah satu yang paling akrab dengan pengurus Klenteng. Maka tak heran jika saat ada perayaan hari besar Islam, pihak Klenteng justru berkontribusi langsung.
 Contohnya pada hari raya Idul Adha terakhir, kata Pak Yadi, Masjid mendapatkan sumbangan dua ekor sapi untuk disembelih. Tentu ini bukan sebagai qurban, karena qurban tentunya hanya oleh penganut Islam. Tetapi ini adalah sebentuk kepedulian dari jamaah Klenteng kepada jamaah Masjid, yang oleh Pak Yadi diistilahkan sebagai sedekah untuk merawat hubungan sosial yang baik.
Sayangnya, sore tadi saya tak bisa lama bertandang di Masjid Jami' Muntok, sehingga tidak sempat melanjutkan diskusi dengan pengurus Klenteng. Kebetulan memang sore itu saya hanya mampir sebentar setelah turun dari Bukit Menumbing. Namun, kunjungan kilat saya tersebut cukup memberikan pelajaran berarti bagi saya tentang makna toleransi. Toleransi itu tak cukup sekedar hidup berdampingan dengan saling menghormati, tetapi juga perlu ada kerjasama yang mutual dalam kehidupan sosial keseharian. Dan bangsa ini sesungguhnya memiliki sejarah lama hidup bertoleransi satu sama lain. Saya justru tak habis pikir jika sekarang orang-orang masih berkelahi hanya karena berbeda keyakinan.