[caption id="attachment_317199" align="aligncenter" width="478" caption="Foto: koleksi pribadi"][/caption]
Sukarno, seluruh dunia tahu. Di luar negeri, kalau ketemu orang di jalan, minta sebut beberapa nama terkait Indonesia, yang akan pertama kali disebut pasti Sukarno. Ayahku (ayah tiri), tak seterkenal Sukarno. Ia hanya orang kampung yang kebetulan dianggap sebagai orang 'pintar' sehingga sering dimintai obat dan atau nasihat bagi warga yang punya hajat atau terkena musibah. Ayahku adalah pengagum berat Sukarno. Ia diantara sekian orang yang meyakini Sukarno sebagai 'waliyul amri'. Lebih dari itu, baginya, Sukarno Imam Mahdi, yang diturunkan untuk memimpin Indonesia.
Mudik lebaran kali ini, seperti biasanya, aku menyempatkan untuk diskusi dengan ayah. Tidak seperti biasanya yang berkisar pada soal agama, topik diskusi kali ini adalah tentang Sukarno. Kenapa ia mengajak diskusi topik itu? Mungkin karena beliau melihat aktifitas politikku belakangan ini sebagai relawan Jokowi-JK, yang dianggapnya sering interaksi dengan para Sukarnois.
Kali ini saya lebih suka mendengar dari pada bercerita. Biasanya kami diskusi secara seimbang. Bukan apa-apa, karena saya ingin mencerap lebih banyak cerita pengalaman darinya.
Ia membuka diskusi dengan cerita saat menghadiri rapat raksasa pidato Sukarno di alun-alun Pakalongan tahun 1952. Kata-kata Sukarno yang masih kuat diingat oleh ayahku adalah: "Indonesia harus merdeka 17 kali".
Mengutip ayahku, beginilah kira-kira bunyi pidato Sukarno waktu itu:
"Rakyat Indonesia harus merdeka 17 kali!
"Merdeka satu kali saja sudah hebat, apalagi merdeka 17 kali."
"Bapak/Ibu tahu, merdeka 17 kali itu apa?" Hadirin menjawab serentak: "tidaaaak"
Kata Sukarno: "Dengarkan Bapak/Ibu,...!