Ketika menulis ini, saya baru saja sampai rumah. Tadi sore bersama mendikbud baru selesai dr acara ulang tahunya Pak Emil Salim. Dan begitu buka whats app grup, langsung terharu oleh bertubi-tubinya doa dari teman dan kolega. Bukan, bukan karena melihat ucapan untuk Pak Emil Salim, tetapi sungguh, saya merasa menjadi orang paling bahagia hari itu.Â
Selain mendapatkan doa-doa dari sekian banyak orang, saya mendapatkan surprise dan dirayakan ultahnya bersama tokoh sekaliber Prof. Emil Salim. Rupanya tanggal lahir sama, saya (yangg bukan siapa-siapa) ternyata ulang tahunnya berbarengan dengan Emil Salim (dan ternyata juga almarhum mantan presiden Suharto).
Saya ini orang kampung, tidak tahu banyak soal makna perayaan hari ulang tahun. Jangankan merayakan, ngingat saja kadang suka kelupaan. Waktu kecil dulu, pokoknya setiap tanggal 8 Juni, di tivi ada berita tumpengan Pak Harto lagi ngrayain ultah. Ya itu saja, dan tak pernah berfikir untuk merayakan juga.Â
Apalagi kalau di desa saya, biasanya yang diperingati itu bukan hari kelahiran tetapi hari kematian. Makanya ada istilah haul, peringatan kematian seseorang yang biasanya diselenggarakan dengan tahlilan.
Tapi hari ini beda, tadi itu niatnya hanya menemani  mendikbud yang diundang tarawih oleh beliau. Tak pernah tahu sebelumnya jika ternyata itu sekalian dengan perayaan ultah. Tapi hikmahnya, terasa ada makna lebih dalam. Nebeng perayaan ultahnya orang sekaliber Emil Salim. Disalamin, dislametin, dibuatkan kue dan tiup lilin.Â
Gak modal, saya sich nebeng di belakang Pak Emil saja. Bahkan nama yg tertera di kue-nya aja nama beliau. Namaku cukup di'mention' oleh pembawa aja, itu sudah luar biasa.
Bangga, karena Pak Emil adalah tokoh yang tidak hanya dikenal sebagai mantan pejabat, tetapi justru sebagai orang konsisten memilih jalan integritas dikala yg lain 'kemaruk' dalam kekuasaan ketika itu.Â
Tadi saya mendengarkan cerita dari anak beliau, betapa sang ayah adalah orang yang tidak tergoda ketika kesmpatan untuk mengeruk yang bukan haknya itu terbuka luas. Beliau memilih konsisten pada idealisme meskipun konsekuensinya adalah 'diparkir' pada posisi yang tidak lagi dianggap 'basah'.
Hari ini (8 juni 2016), di usia beliau yang ke-86, beliau masih konsisten memikirkan bangsa ini. Beliau saat ini adalah orang yang paling lantang teriak melawan rokok, apalagi rokok di lingkungan pendidikan. Katanya, bahaya rokok bisa hampir setara dengan narkoba.Â
Beliau juga tetap konsisten mengkritik model pembelajaran di perguruan tinggi yang orientasinya semata melahirkan sarjana yang ilmunya bisa dijual dengan harga termahal, bukan sarjana yang ilmunya bisa dimanfaatkan untuk membantu orang-orang yang belum beruntung.
Kini, seiring dengan perayaan ini, usia kami semakin bertambah. Apa yang disebut dengan tambah usia itu, sesungguhnya adalah umur yang makin berkurang. Artinya, kesempatan yang semakin berkurang utuk berbuat kebajikan.Â