Pekalongan, Jawa Tengah merupakan penawar rindu. Rindu pada orang , rindu pada muasal, rindu pada festival tradisi lokal, serta rindu pada makanan tradisional. Bersama anak-anakku, seolah aku ingin menceritakan tentang masa kecil ayahnya yang jauh berbeda dengan mereka, sejauh perbedaan desa dengan kota. Â
Pulang ke kampung halamanku diTersebutlah sebuah kota kecamatan di wilayah Kabupaten Pekalongan, bernama Sragi. Kota-desa itu memiliki tradisi festival unik bernama "pesto" (Pesta Giling Pabrik Gula Sragi). Diselenggarakan sebagai penanda mulai berjalannya mesin penggilingan tebu menjadi gula. Di kota kecil itu memang berdiri pabrik gula sejak zaman kolonial, tepatnya 1928. Festival 'pesto' sudah berusia lebih dari 90 tahun, setara dengan usia pabrik gula tersebut.
Pesta Giling juga merupakan festival menandai awal memetik tebu di ladang-ladang pertanian. Tebu itu yang dikirim ke pabrik untuk diproses menjadi gula. Umur tanam tebu berkisar 6-12 bulan, jadi proses beroperasi mesin penggilingab PG Sragi juga hanya sekitar enam bulan. Sisa waktu enam bulan berikutnya adalah untuk rehat dan perbaikan mesin, juga untuk memberikan kesempatan menanam tebu dan tumbuh.
"Pesto" ini adalah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan karena diberkahi panen tebu yang melimpah dan permohonan agar hasil panen dimasa mendatang semakin baik serta terhindar dari hama tanaman, serta sebagai permohonan keselamatan di awal proses penggilingan tebu menjadi gula agar tidak terjadi musibah atau kecelakaan.
Ikhwal masyarakat menyebut pesta giling dengan istilah lokal yaitu "Pesto" yang artinya adalah pesta (dalam kaidah bahasa Indonesia). Penyelenggaraanya meriah sekali, seperti pawai pun berbagai hiburan rakyat bahkan hingga para pedagang menjajakan dagangannya di sepanjang jalan menuju pabrik, yang kesemuanya itu diselenggarakan selama satu bulan penuh.
Puncak dari acara ini adalah perayaan pernikahan yang berbeda dari pernikahan pada umumnya. Kedua mempelai merupakan boneka yang bentuknya menyerupai manusia asli, lengkap dengan nama dan pakaian pengantin, kedua boneka itu masyarakat lazim menyebutnya sebagai sepasang pengantin itu dengan nama "pengantin glepung", ya karena kedua boneka pengantin tersebut memang dibuat dengan bahan tepung. Arak-arakan pawai pengantin tersebut meriah dengan diiringi oleh masyarakat menuju pabrik untuk selanjutnya ikut digiling ke dalam mesin raksasa penggilingan tebu bersama tebu-tebu yang lainnya.
Konon, mitosnya pada era penjajahan Belanda dulu yang digiling pengantin manusia beneran sebagai tumbal. Tapi itu mitos loh, soal kebenarannya saya tidak tahu.
Pesto Giling menjadi salah satu festival budaya besar bukan hanya di Pekalongan tetapi di Jawa Tengah. Pun selain menyuguhkan aktraksi yang sarat makna budaya, arak-arakan prosesi pengantin tebu juga menjadi sarana hiburan dan wisata masyarakat.
Oh ya, di komplek perumahan dinas Pabrik Gula (PG) Sragi ada rumah makan dengan menu tradisional Jawa yang terkenal, namanya Omah Carkonah. Jika dahaga menerpa  dan lapar melanda, disarankan mampir ke situ yach...[]
Yuk baca artikel-artikelku yang menarik disini:
Ziarah Nyai Nihayah, Perintis IPPNU dari Jember
Safari Rohani, Berkunjung ke Masjid Roudhatul Mukhlisin Jember
Kartini, Pijar Warisanmu Turut Menerangi Langkah Kaoem Poeteri Pribumi Hingga Kini
Bahagiaku, Bahagiamu Jua: Ceritaku Melepas Mudik Bersama Warga Kaliadem oleh Turuntangan
Ini Bukanlah Wisata Bencana tapi Ladang Kebaikan untuk Saling Bantu SesamaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H