Etika merupakan landasan manusia berbuat. Etika memandu kita menentukan mana yang baik dan tidak baik, menjadi guidance bagi manusia untuk menentukan perilaku yang menciptakan keseimbangan bagi khalayak-banyak. Etika juga menjadi landasan pembentukan hukum positif beserta turunannya. Termasuk dalam pemerintahan, etika musti menjadi landasan dalam menentukan norma-norma praktik pemerintahan dan tata kelolanya. Demikian juga, perilaku aparatur pemerintahan diatur sedemikian lupa melalui perundang-undangan dan peraturan turunannya, yang sumbernya dari etika. Etika adalah rujukan utama agar dalam menjalankan aturan tidak semata karena menjalankan aturan melainkan ada nilai-nilai dasar yang melandasinya.
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) pada tanggal 5 Juni 2021 menyelenggarakan seminar sehari tentang etika pemerintahan. Seminar hybrid yang diselenggarakan di Hotel Aryaduta  dan virtual zoom tersebut seperti menjadi oase di tengah kerinduan para pelaku dan akademisi di bidang pemerintahan untuk mendiskusikan kembali etika dalam pengelolaan pemerintahan. Saya sebagai mahasiswa program doktoral IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) merasa berkepentingan mengikuti seminar tersebut.Â
Hadir sebagai keynote speaker guru besar IPDN yang juga mantan Menteri PAN/RB (Pemberdayaan Aparatur Negara / Reformasi Birokrasi) Prof. Ryaas Rasyid. Dalam kesempatan tersebut Profesor secara eksplisit mengatakan: "sudah lama kita tidak menyenggarakan diskusi publik tentang etika pemerintahan". Pernyataan professor bidang ilmu pemerintahan tersebut seperti tamparan buat pelaku dan akademisi ilmu pemerintahan, karena memang kenyataannya diskursus akademik tentang etika penyelenggaraan negara saat ini sangat minim.Â
Pertama, diskursus lebih didominasi oleh pelaku politik yang menjadikan perbincangan soal etika pemerintahan lebih sebagai ranah marketing politik di media, dibanding sebagai substansi akademik. Kedua, hantaman Pandemi Covid19 turut menjadikan dominasi wacana pada bagaimana tindakan menghalau wabah mematikan tersebut sehingga space untuk diakuai soal etika secara signifikan terkurangi.
Dalam paparannya, Profesor juga mengingatkan kembali tentang maksud dan tujuan dibentuknya negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 45, yaitu: perlindungan terhadap segenap warga, kesejahteraan, kecerdasan, dan keterlibatan dalam perdamaian dunia. Profesor menerjemahkan tujuan tersebut dalam penjelasan yang lebih kongkret yaitu (1) menjaga ketertiban dan ketenteraman, (2) memberi arah kehidupan bersama tentang mendirikan suatu negara, (3) mengelola sumber daya kekuasaan agar dapat simultan bersinergi membangun kehidupan yang harmonis, kreatif, dan produktif, (4) menciptakan iklim kehidupan yang sehat dan bergairah melalui kebijakan yang adil secara sosial, ekonomi, hukum, dan politik dalam kehidupan bersama, dan (5) melindungi hak-hak hidup masyarakat minoritas dan menjamin keamanan umum
Dari kelima prinsip itulah Prof. Ryaas menjabarkan kembali tugas-tugas pokok pemerintahan: pelayanan sebagai corong utama memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, pemberdayaan sebagai sebuah aktivitas untuk meningkatkan kemandirian dan potensi masyarakat, dan pembangunan bagi kesejahteraan rakyat.
Profesor juga mengkritik secara tajam pemerintah dengan mangatakan: "Sudah lama Indonesia dikelola tanpa etika." Perjalanan pemerintahan di negeri ini dianggap telah melenceng jauh dari etika dasar yang tertuang dalam pembukaan UUD sebagaimana disebutkan di atas. Sebagai salah satu contoh adalah dalam hal mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan seringkali lebih banyak dilihat sebagai komponen penyuplai sumberdaya manusia dalam industri dari pada sebagai sebuah proses untuk mencerdaskan dan meninggikan harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam konteks pelaku pemerintahan, mencerdasakan bukan sekedar membuat sekolah, tetapi tercermin dari perilaku pemimpin yang mencerminkan mencerdaskan, menjadi teladan, bukan malah menjadi beban bagi masyarakat, apalagi dengan membuat sesuatu yang kontroversi di masyarakat.
Lebih lanjut ia menyampaikan, negara dan pemerintahan yang beretika terdiri dari empat komponen utama: (1) kepemimpinan, (2) manajemen, (3) kebijakan dan implementasi, (4) pertanggungjawaban politik, dan pewarisan nilai bagi kelanjutan hidup bernegara. Pertama, kepemimpinan berarti adalah seseorang yang memiliki tiga hal: integritas, kompetensi, dan komitmen. Kedua, manajemen adalah kemampuan yang harus dimiliki pemimpin untuk mengelola tugas-tugas negara bersama tim kerja yang berkompetensi tinggi agar seluruh tanggung jawab dapat terlaksana dengan baik. Ketiga, kebijakan dan implementasinya yang memegang prinsip keadilan akan menciptakan suasana yang tenteram dalam masyarakat, sehingga kehidupan akan lebih sehat, produktif, dan maju. Keempat, pertanggungjawaban politik dan pewarisan nilai-nilai bagi kelanjutan hidup berbangsa menjadi referensi inspiratif bagi calon-calon pemimpin. Segala keberhasilan dan kegagalan dapat dimaknai secara objektif berdasarkan rujukan-rujukan yang telah disusun.
Etika pemerintahan tidak selalu menempatkan kegagalan sebagai kesalahan yang tidak termaafkan. Jika kesalahan-kesalahan tersebut bisa dikasih penjelasan secara objektif sebab-akibatnya, maka masyarakat demokratis tentu dapat mampu memaafkannya. Namun demikian, jejak negatif yang meninggalkan tradisi yang rusak akan secara kumulatif memelihara ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Kehidupan sosial akan dis-harmoni, dan bisa membawa bangsa menuju jurang kehancuran. Ini semua adalah akibat bencana absennya etika dalam sebuah negara atau pemerintahannya.
Pemilu dan Penyelenggaraan Pemerintahan
Setelah keynote speech, pembicara pertama adalah Prof. Siti Zuhro, ilmuwan politik dari LIPI, yang memaparkan materi dengan judul: "Pemilu dan Penyelenggaraan Pemerintahan Beretika." Menurutnya, Indonesia memasuki alam demokrasi yang lebih mendekati substansi semenjak reformasi 1998. Sampai saat ini, sistem politik demokratis dalam rentang 1998-2021 sedang dibangun dan diperjuangkan.Â