Perjuangan itu memang membuahkan hasil. Hasil buat semuanya. Kesadaran politik warga Tanah Merah kini berada pada fase paling tinggi. Di daerah-daerah yang ketimpangannya masih tinggi, kesadaran politik paling tinggi justru berada pada lapis paling bawah kelas sosial. Politik bagi mereka bukan sekedar menyalurkan suara atau mengganti pimpinan, melainkan sebagai sarana bargaining untuk melakukan perubahan nasib dan keluar dari himpitan beban kehidupan. Deru ini dirasakan betul oleh masyarakat Tanah Merah.
Perjuangan politik Tanah Merah berlanjut saat Jokowi mencalonkan menjadi Presiden pada tahun 2014. Warga all out menjadi relawan memenangkan Jokowi. Jokowi menjadi Presiden. Di Tanah Merah tentu ia menang mutlak. Sayangnya, simbiosis politik itu tidak dilanjutkan oleh penerus Jokowi sebagai gubernur. Kebijakan gubenur penerusnya justru bertolak belakang dengan yang dikerjakan Jokowi. Penggusuran terjadi secara massif dilakukan di mana-mana. Pun dengan pola komunikasi yang buruk sekali. Bagi masyarakat Tanah Merah, Ia telah gagal menjaga komitmen kontrak politik masyarakat Tanah merah dengan Jokowi.
Atas kekecewaan mendalam, menjelang penghujung masa ke-gubernurannya, masyarakat Tanah Merah mencoba mencari alternatif. Awalnya mereka membidik tokoh di arah ujung timur pulau Jawa. Seorang Ibu yang sedang menjabat sebagai Walikota Surabaya digadang-gadang ditarik ke Jakarta menggantikan petahan. Kebetulan Ibu tersebut berasal dari partai yang sama dengan Jokowi. Namun justru partainyalah yang akhirnya menolaknya melenggang ke Jakarta.
Warga Tanah Merah akhirnya berpindah sosok Anies Baswedan. Sosok ini baru ini sedang mengalami 'jobless' karena di-reshuffle oleh Jokowi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Kecemerlangan track record selama menjadi Mendikbud dan persambungan jaringan pergerakan semasa mahasiswa sebagai sama aktivis melawan rezim Orde Baru menjadi kredit tersendiri buat mereka. Warga Tanah merah meyakini Anies-lah alternatifnya. Anies digambarkan sebagai Pangeran Diponegoro yang memimpin melawan penggusuran oleh penguasa kolonial waktu itu.
Persenyawaanpun terjadi. Saya masih ingat, harinya Rabu siang, tanggal 21 September 2016, kira-kira satu minggu sebelum akhirnya Anies resmi dicalonkan oleh Parpol, mereka beramai-ramai mendatangi rumah Anies. Bersamaan dengan mereka juga masyarakat dari Guji Baru, Komunitas Delman yang terusir dari Monas, warga Kali Anyar dan Warga Kembangan. Permintaanya satu, agar Anies nyagub! Saya juga masih ingat jawaban Anies waktu itu, bagaimana mau nyagub sedangkan partai saja tidak punya.
Tapi rupanya tangan Tuhan bekerja mengatasi segala apapun yang di alam ini. Tak ada yang pernah mebayangkan sebelumnya jika kemudian Anies diusung oleh dua partai yaitu Partai Keadilan dan Partai Gerindra. Krek!,... seperti toples ketemu tutupnya, pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno resmi menjadi Cagub-Cawagub dan akhirnya menang dalam Pilkada DKI 2017. Bagi warga Tanah Merah, partai boleh apa saja, yang penting figur yang diusung bisa mewakili perjuangan mereka.
Begitu resmi dicalonkan, Tanah Merah adalah lokasi yang pertama kali didatangi untuk kampanye Anies. Artinya, kampanya Anies start-nya dari Tanah Merah. Anies membuat kontrak politik yang hampir sama persis dengan kontrak politik yang ditandangi oleh Jokowi waktu itu. Dari situlah sejarah perburuan suara memperebutkan kursi DKI-1 itu dimulai.
Penulis: M Chozin Amirullah, mantan koordinator Pendopo Relawan  |  Twiiter: chozin_ID  Instagram: chozin.id  |  Tulisan ini adalah salah satu dari rangkaian tulisan mengenai relawan Anies-Sandi. Â
Tulisan lain sejenis
Perlawanan dari Kampung Pulo
Politik Antik Para Penggali Kubur
Semuanya Tentang: Trust
Stiker, Relawan dan Gagasan Maju Bersama
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI