Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih bauk turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Islam Kaffah, Bukan Pula Pancasila Kaffah

5 Juni 2017   16:19 Diperbarui: 5 Juni 2017   16:19 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu kemarin, banyak yang bertanya kepada saya, mengapa dalam akun medsos yang saya punya tidak ada satupun status mendukung "Aku Pancasila" ataupun mengkritisinya. Lha saya tanya balik, "memangnya wajib ya?" Lha saya ini kadang ada yang hari-hari pasang status dan kadang juga ada hari-hari yang tidak pasang status. Dulu koq enggak pernah ditanya, padahal saya juga sering juga hari-hari tanpa pasang status?

Sewaktu kuliah di Jogja dulu, selain aktif di tempat-tempat lain, saya juga aktif di unit kerohanian Islam. Waktu itu di kampus sedang seger-segernya merebak gerakan-gerakan 'hijaunisasi' kampus. Trend mahasiswa adalah aktif di unit kerohanian kampus yang basisnya di masjid dan musholla. Bahkan diselenggarakan jam kuliah tambahan khusus Pendampingan Agama Islam (PAI). Saya yang memang sedari kecil sampai SMA hidupnya di pesantren NU, bergabung ke lembaga kerohanian karena alasan sederhana saja, pengen tetap merasakan nuansa keagamaan ala pesantren meskipun di kampus.

Namun dalam perjalanannya, aktif dan menjadi pengurus lembaga kerohanian Islam tidak senyaman yang saya bayangkan. Saya merasakan belum bisa diterima secara penuh dan dianggap sebagai 'setengah Islam'. Latar belakang saya NU, saya pakai pakai qunut, tahlilan (kalau ada kematian), sholawatan dan ritual-ritual khas NU lainnya yang kebetulan tidak banyak dipraktikkan pengurus yang mendominasi lembaga tersebut. Praktik-praktik ibadah saya seringkali dituduh penuh bid'ah sehingga saya tetap saja tidak dianggap sebagai Islam kaffah. Itulah yang menyebabkan saya dan tidak bisa sepenuhnya dianggap sebagai bagian dari kelompok yang dominan di waktu. Seakan-akan merekalah sebagai pemilik tunggal Islam, sementara saya dianggap peminjam saja. Padahal saya ya sholat, ya puasa, ya zakat.

Karena saya tidak dianggap sebagai Muslim penuh dan pembawah bid'ah, saya bahkan tidak diikutkan dalam rapat-rapat pengurus inti. Pernah suatu kali, saya dijegal (dan akhirnya memang terjegal) habis-habisan dari bursa pencalonan ketua karena dianggap sebagai ancaman bagi yang merasa muslim-nya kaffah. Tentu saja, mengalami situasi seperti itu tentu cukup menyisakan kenangan tidak enak bagi saya. Sakitnya tu ya di sini.., iya di sini....di hati ini.

Tetapi untungnya waktu itu saya terus bersabar. Saya tetap mengikuti kajian-kajian yang dilakukan. Saya selalu berusaha menjadi pendengar yang baik. Padahal, kadang saat kajian, dalam hati sering berontak pada ustadznya,... lha gimana tidak, gimana dia sudah mentasbihkan dirinya sebagai ustadz saya sedangkan ketika membaca ayat-ayat saja, makhroj-nya masih belopotan: dza dibaca za, 'a di baca a, dan seterusnya. Dari cara bacanya saja ketahuan kalau dia bukan pembaca native, ketahuan kalau baru belajar Quran belum lama. Bagi kita-kita yang sudah biasa baca Quran dari kecil, pasti bisa membedakan antara yang baru belajar kemarin sore dengan yang bisa membaca dari kecil. Ilustrasinya sama dengan kita bisa membedakan orang yang mengucapkan bahasa Inggris sedari kecil dengan yang belajarnya sudah dewasa, pasti cara pronunciation-nya beda bukan?  

Waktu saya melanjutkan kuliah di Amerika. Di Kampus, saya waktu itu sengaja tidak tinggal di dormitory ataupun apartemen, melainkan di masjid (Islamic Center). Alasannya juga sederhana, biaya sewanya jauh lebih murah, bisa separuh harga. Tetapi ya itu lagi, saya diuji kesabaran lagi. Yang aktif di Islamic Center kebanyakan dari Timur Tengah. Kebanyakan mereka melihat saya yang dari Asia Tenggara ini masih belum Islam penuh. Istilahnya, Islamnya masih sebagai konsumen, bukan produsen. Kebanyakan mahasiswa Indonesia tidak betah berlama-lama di Islamic Center. Tetapi saya tidak, saya berusaha memberahkan diri. Saya memilih untuk lebih banyak bersabar demi untuk lebih banyak belajar.

Kembali ke Indonesia, saya aktif di politik. Di Pilpres 2014, saya aktif menjadi tim salah satu Capres yang kebetulan tidak didukung oleh kebanyakan Parpol yang berlabelkan Islam. Kolega-kolega banyak yang mem-bully saya di medsos, menuduh sudah menggadaikan aqidah, sudah tidak pro-Islam lagi. Capres yang saya dukung menang. Tetapi oleh sebagian teman lama, saya sudah dianggap sudah bukan Islam penuh. Tetapi lagi-lagi saya bersabar, saya tidak membalas cercaan mereka. Saya beruntung, masih mendapat pembelaan dari rekan-rekan saya yang satu haluan politik.

Saat Pilkada DKI 2017 beru-baru ini, saya mendukung dan bahkan masuk dalam tim salah satu Paslon gubernur. Kebetulan cagubnya satunya Muslim, satunya Kristen. Yang cagub Muslim ini dulu bekas anggota kabinet Sang Presiden yang dulu saya dukung, yang Cagub Kristen ini mantan Wagub Sang Presiden sewaktu doi jadi Gubernur Jakarta sebelumnya.  Kebetulan, saya masuk dalam tim gubernur yang mantan anggota kabinet itu. Pertarungan terjadi. Presiden memberikan sinyal mendukung Cagub yang satunya. Demikian pula kebanyakan tim-nya yang dulu. Saya bersebarangan secara politik dengan mereka.

Atas perhelatan tersebut, sebagian kolega saya kecewa. Oleh mereka kemudian saya dilabeli sebagai kelompok kanan, ekstrimis dan pro-Islamis. Saya dianggap bukan Pancasila(is) yang kaffah. Dan masih banyak tuduhan-tuduhan lainnya. Lagi-lagi, saya ya,....sabar saja! Sabar itu biasanya akan mendapat hikmah di belakangnya. Dulu dianggap seagai bukan Islam kaffah, sekarang dianggap bukan Pancasila kaffah.

Nah,...saat ini, seperti sedang ramai dibenturkan antara Pancasila vs Islam. Buktinya kita seperti 'terpaksa' untuk membuat pernyataan "saya Indonesia, saya Pancasila". Seakan-akan harus pilih salah satu: Anda Pancasila atau Anda Islam. Padahal khan saya ini ya Chozin, yang bergama Islam, bertanah-air Indonesia, berideologi negara Pancasila, bersuku Jawa, beristri turunan Jawa-Melayu-Cina, dan seterusnya. Teman saya ada yang beragama Kristen, bertanah air Indonesia, berideologi negara Pancasila. Ada juga teman yang beragama Budha, bertanah air bukan Indonesia, berideologi negara bukan Pancasila (karena dia warga negara Thailand hehehe).

Kawan,... di dunia yang makin mengglobal ini, kita ini sebagai manusia, sesungguhnya multi-identitas. Kita sudah tidak bisa lagi bisa mengatakan saya hanya punya satu identitas ini atau itu. Pada satu pribadi, melekat berbagai identitas: identitas agama, identitas bangsa, identitas suku dan sebagainya. Ukuran kemuliaan manusia itu justru bukan pada identitasnya, tetapi pada kemuliaan akhlaknya, tindak-tanduknya. Beragama itu mulia, tetapi jangan gunakan kekerasan untuk memaksakan agamanya. Bernegara itu mulia, tetapi jangan gunakan medsos untuk menghina atau merendahkan yang lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun