Mohon tunggu...
M Chozin Amirullah
M Chozin Amirullah Mohon Tunggu... Relawan - Blogger partikelir

Antusias pada perubahan sosial, aktif dalam gerakan mewujudkannya. Menghargai budaya sebagai bunga terindah peradaban. Memandang politik bukan sebagai tujuan namun jalan mewujudkan keadilan sosial. Tak rutin menulis namun menjadikannya sebagai olah spiritual dan katarsis. Selalu terpesona dengan keindahan yang berasal dari dalam. Ketua Gerakan Turuntangan, Mengajak anak muda jangan hanya urun angan tetapi lebih baik turun tangan. Kenal lebih lanjut di instagram: chozin.id | facebook: fb.com/chozin.id | twitter: chozin_id | Web: www.chozin.id

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jim Keady dan Nasib Buruh Inlander

9 Mei 2014   07:27 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jakarta, Indonesia. An American labor activist who has taken up the cause of Nike’s factory workers in Indonesia for the past 14 years is being deported Tuesday and has been banned from traveling to Indonesia for at least six months. Jim Keady, director of the the U.S.-based NGO, Educating for Justice, was picked up by immigration officers after being tailed by intel at the May Day celebrations in Jakarta."

Demikian petikan bunyi rilis aktivis buruh asal Amerika Jim Keady yang kemudian dimuat di Tempo edis 6 Mei 2014. Rilis itu dikirim satu hari menjelang dirinya dideportasi ke negara asalnya. Direktur sebuah NGO di Amerika bernama Educating for Justice tersebut akhirnya dideportasi pada hari Selasa (6/5). Ia dideportasi gara-gara ikut bersama buruh saat melakukan aksi peringatan Hari Buruh (May Day) 1 Mei 2014 di Jakarta.

Sehari menjelang Jim dideportasi, saya merasa beruntung masih sempat mengudang Jim untuk menjadi pembicara dalam diskusi yang diselenggarakan oleh lembaga yang kubentuk dua tahun lalu, Suluh Nusantara. Kami mengundang Jim untuk menjadi pembicara sebenarnya sudah jauh-jauh hari sebelumnya, akan tetapi kabar bahwa Jim akan dideportasi sempat membuat kami berniat membatalkan acara karena Jim terancam tidak bisa hadir. Baruntung, pagi hari menjelang acara, Jim mengirimkan SMS bahwa dirinya diizinkan untuk mengisi acara diskusi yang kami selenggarakan.

Forum diskusi yang kami selenggarakan di kampus Universitas Siswa Bangsa (USBI) - dulu Sampoerna School - di kawasan Pancoran Jakarta tersebut menjadi ajang perpisahan kami dengan Jim. Jim memang sering mengisi forum-forum di Indonesia, dan diskusi siang itu adalah forum terakhir buat Jim menjelang kepulangannya ke negeri Paman Sam.

[caption id="attachment_306771" align="aligncenter" width="320" caption="Jim saat diskusi"][/caption]

Jim memulai presentasinya dengan memutar sebuah film dokumenter mengenai perjuangannya membela buruh pabrik sepatu paling terkenal di dunia Nike. Nike menguasai 31% pasar sepatu dunia (sementara merek terbesar keduanya, yaitu Adidas hanya menguasai 16%, dan Reebok hanya 6%).  Kenapa Jim tertarik membela buruh Nike di Indonesia? Karena jumlahnya terbanyak. Bayangkan, Nike memiliki sekitar 40 pabrik di Indonesia dengan jumlah buruh lebih dari 170 ribu orang. Sebuah angka yang fantastis bukan?

Sayangnya, sebagaimana yang ditayangkan dalam film, kehidupan buruh Nike di Indonesia sangat memprihatinkan. Mereka masih hidup di bawah standar kemiskinan, dibawah 2 dollar per hari. Untuk membuat film tersebut, Jim bersama mantan istrinya sempat hidup selama dua bulan bersama para buruh di Jakarta dalam lingkungan yang kumuh dan hidup dalam serbaketerbatasan. Jim menghitung pengeluaran harian mereka mulai dari makanan, sewa kontrakan, kesehatan dan sebagainya yang tidak sebanding dengan gaji yang mereka terima. Gaji yang mereka terima terlalu kecil untuk mensupport kehidupan sehari-hari mereka. Jim menggambarkan, bahkan gaji satu bulan mereka tak cukup untuk membeli satu sepatu yang mereka hasilkan.

Oleh karena itu Jim berkesimpulan bahwa perusahaan yang berkantor pusat di Oregon Amerika dan sudah 25 tahun beroperasi di Indonesia tersebut tidak pernah memperhatikan kesejahteraan buruhnya. Yang mereka perhatikan adalah kesejahteraan para pemiliknya, para bintang iklannya dan sebagian pekerjanya di Amerika. Sementara buruh-buruhya yang di negara berkembang, mereka tidak pernah fikirkan. Tetap dibiarkan hidup dalam kemelaratan.

Apa yang digambarkan oleh Jim sesungguhnya membuka mata kita, bahwa sesungguhnya saat ini tak ubahnya kita hidup seperti di zaman kolonial. Dulu, apa yang kita sebut sebagai penjajahan oleh Belanda selama 350 tahun sesungguhnya adalah penguasaan oleh sebuah perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Belanda, bernama VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).

Melihat situasinya dengan sekarang, dimana buruh kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional seperti Nike, sesungguhnya tak ada bedanya bukan? Bedanya, jika dulu para kakek moyang kita menolak membeli produk-produk kolonial, sekarang kita justru bangga menggunakan merk dari perusahaan multinasional. Buktinya, tim nasional sepakbola kita sangat bangga menggunakan kostum 'Nike'. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun