Mohon tunggu...
Chairul Anwar
Chairul Anwar Mohon Tunggu... Editor - Penulis lepas

Ndoro kakung. Tua bukan berarti linglung. Kadang sedikit bingung kalau harga barang tiba-tiba membumbung. Tetap mengais walau belum berujung.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kegetiran Kevin, Bocah Penyandang Difabel yang Ditolak Sekolah

4 April 2014   06:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:06 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1396541353956097394

[caption id="attachment_318352" align="aligncenter" width="576" caption="Kevin saat membacakan "]
[/caption]

HADIAH laptop dari Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) yang diterima Kevin beberapa waktu lalu, cukup menyenangkan hatinya. Namun, hadiah itu belum mampu menghapus kegalauan dan kesedihan bocah penyandang difabel ini ketika tahu begitu sulitnya dia ingin mengenyam pendidikan.

Kevin, siswa tunadaksa di SMPLB Negeri Tanjungpinang ini, menyampaikan hasratnya yang menggebu-gebu untuk melanjutkan pendidikannya di sekolah umum. Tak disangka, niatnya itu harus pupus.

Hampir semua SMP negeri di Tanjungpinang tak bersedia menampungnya. Sekolah-sekolah "pelat merah" itu menolak karena merasa tak sanggup untuk mendidiknya. Sementara beberapa SMP swasta lainnya juga geleng kepala.

Keinginan itu disampaikan Kevin, siswa kelas VII, kepada ratusan peserta workshop guru pendamping khusus anak berkebutuhan khusus (ABK) se-Provinsi Kepri, di Plaza Hotel Tanjungpinang, Rabu (19/3/2014) sore. Keinginan sederhana dari seorang bocah penyandang difabel ini tak urung meluruhkan perasaan peserta yang sebagian besar dari kalangan ibu ini.

Apalagi ketika bocah ini membacakan puisi hasil karyanya sendiri yang berjudul "Ibu". Walau langkahnya tertatih, Kevin berusaha berdiri tegak.

Tanpa malu, dia membacakan puisinya -dengan penuturan yang kurang jelas. Maklum, untuk mengucapkan kata "ibu" saja nyaris seluruh otot lehernya menegang.

Tapi Kevin saat itu jadi bak seorang bintang. Sejumlah peserta menyorotkan gadget mereka, merekam aksi putis bocah ini. Usai berpuisi, aplaus riuh menggema di ruangan itu.

Sebagai penyandang tunadaksa atau cerebal palsy, Kevin kesulitan mengucapkan kata-kata dengan jernih. Tapi, Kevin jago dalam bahasa Inggris.

"Anak kami ini, meksipun penyandang tunadaksa, tapi dia jago berbahasa Inggris. Silakan bagi bapak-bapak, ibu-ibu yang ingin bercakap-cakap dengan Kevin menggunakan bahasa Inggris," kata Riasnelly, Pengawas SD Tanjungpinang, yang juga mantan Kepala SLB Negeri Tanjungpinang itu.

Seorang peserta, Lilis dari TK Adelaide Tanjungpinang, maju untuk "menguji". Pertanyaan-pertanyaan Lilis mampu dijawab Kevin dengan "bahasa payahnya".

Namun, satu pertanyaan ternyata tak mampu dijawab Kevin. "Where do you want to school?" tanya Lilis.

Pertanyaan ini disambut Kevin dengan menangis. Otot lehernya menegang ketika tangan kanannya mengusap matanya yang berair.

Kevin tak bisa menjawab bukan karena tak bisa. Dia hanya tak tahu harus menjawab apa. Hampir semua SMP negeri dan swasta di Tanjungpinang sudah menutup pintu baginya.

Rasa kesal bercampur sedih itulah yang membuatnya tak kuasa menahan tangis: tangisan bocah penyandang difabel yang hanya ingin bisa sekolah di sekolah umum -sebuah keinginan yang sebenarnya sederhana saja.

Lilis menyudahi "conversation" itu. Ibu-ibu yang menyaksikan hanya memandang kosong, beberapa di antaranya mengusap air mata dengan kain kerudungnya. Riasnelly segera memeluk Kevin untuk menenangkannya.

"Inilah kenyataannya, bapak-bapak, ibu-ibu. Anak kami ini ingin melanjutkan pendidikannya di sekolah umum. Secara kognitif, kami menilai dia sudah mampu. Tapi, hampir tak ada sekolah yang bersedia menampungnya. Padahal anak kami ini bisa," ujar Riasnelly dengan suara serak, ikut merasakan kepedihan Kevin.

Kevin saat ini duduk di kelas VII. Pada tahun pelajaran baru, Juli mendatang, tepatnya saat kenaikan kelas, dia berkeinginan melanjutkan pendidikan di sekolah umum.

"Bagi kami tak masalah. Karena, secara kognitif dia sudah mampu. Sayang, kan, jika dia harus terus-terusan di SLB karena kognitifnya bagus. Tak apalah jika dia harus mulai dari kelas VII lagi," ujar Riasnelly.

Beruntung, SMP Swasta Bintan Tanjungpinang masih membuka tangan. Kepala SMP Bintan, Susi, yang turut menjadi peserta pelatihan, menyatakan bersedia menerima Kevin. Apalagi, Susi sudah dikenal mampu menangani anak-anak berkebutuhan khusus.

"Alhamdulillah kalau begitu. Semoga Kevin bisa menggapai harapannya di SMP Bintan," ucap Riasnelly.

Mendengar keinginannya tersampaikan, Kevin tersenyum. "Te-ri-ma ka-sih," ucap Kevin dengan nafas yang berat.

Kevin mampu mengukir prestasi meski semua sekolah negeri dan beberapa sekolah swasta di Tanjungpinang menolak untuk menerimanya sebagai siswa. Tapi, bocah penyandang tunadaksa ini berhasil menjadi juara pertama lomba cipta baca puisi pada ajang Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tingkat Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK-PLK) jenjang SMP.

Siswa kelas VII SLB Negeri Tanjungpinang ini berhasil menyingkirkan lima orang pesaingnya dalam perlombaan tersebut. Kevin berhak mewakili Kepri ke ajang nasional.

Kebahagiaan luar biasa yang diekspresikan dari seorang bocah penyandang difabel ini tak urung meluruhkan perasaan para pendamping dan para undangan yang hadir saat penyerahan hadiah tersebut. Semua orang bertepuk tangan karena turut senang dengan kemenangan Kevin.

Puisi hasil karyanya sendiri yang berjudul "Ibu" menjadi puisi favorit dan membawa Kevin menjadi pemenang dalam lomba tersebut. Meskipun susah untuk berucap dan mengatakan sesuatu, Kevin tampak sangat gembira dengan bertepuk tangan dan mengangkat pialanya usai menerima hadiah dari Kabid Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kepri, di Plaza Hotel Tanjungpinang, Minggu (23/3/2014) malam lalu.

Tidak ada air mata di pipinya, namun melihat kemenangan Kevin, banyak air mata yang menetes dari para guru dan pendamping Kevin. Sejumlah peserta menyorotkan gadget mereka, merekam aksi kebahagiaan kevin saat menerima piala yang baginya sangat berharga dan besar nilainya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun