Saat ini kita mengalami kelesuan ekonomi di beberapa sektor riil seperti misalnya pada sektor retail, properti, perlengkapan rumah tangga, tekstil dan konstruksi. Kelesuan ini salah satunya disebabkan oleh menurunnya daya beli masyarakat. Akan tetapi ada sebagian orang yang berbeda pendapat mengenai hal ini. Ekonomi tidak mengalami penurunan, karena yang terjadi sebenarnya adalah shifting (pergeseran pola konsumsi masyarakat) yang salah satunya diakibatkan oleh perubahan konsumsi dari sistim konvensional ke sistim e-commerce (online)
Disrutive innovation (Inovasi Disrutif) seperti pada taksi online (Uber, Grab, Gocar) kemudian bertumbuh pesat menghajar habis perusahan taksi konvensional. Apakah jumlah penumpang pengguna transportasi taksi berkurang? Tentu saja tidak! Justru semakin bertambah yang diakibatkan oleh shifting dari sebagian penumpang ojek pangkalan ke taksi online, sementara penumpang taksi konvensional juga otomatis "bergeser" ke taksi online. Armada Uber bertambah, armada Bluebird menyusut. Akhirnya ojek pangkalan punah gegara penumpangnya hijrah ke ojek online dan taksi online. Pergeseran inilah yang disebut dengan istilah shifting.
Akan tetapi "Lain padang lain belalangnya." Menggeneralisasi situasi perekonomian nasional dengan mengatakan hanya terjadi shiftingsaja tentulah sangat tidak tepat pada anomali perekonomian kita. Anomali? Ya! Kondisi makro ekonomi kita bagus, cadangan devisa baik, rating dari Lembaga pemeringkat Moody's Investors Service terhadap Indonesia juga naik, Tax Amnesty sukses. Artinya perekonomian Indonesia kini semakin maju! Tetapi pada sektor riil, terutama pada sektor ritel yang sering dipakai untuk meneropong kondisi "dompet warga" Â sebenarnya, perekonomian Indonesia cenderung menurun.
Selain faktor shifting dari sistim konvensional ke sistim online tadi (tidak mengubah volume pasar, tetapi hanya pada polanya saja) ada juga perubahan pola konsumsi (mengubah pola dan volume pasar) yang dapat kita amati pada berbagai jenis industri ritel. Pada hipermarket besar, pendapatan mereka berkontraksi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sementara pada mini market pendapatan mereka cenderung stabil. Penjualan barang-barang dengan kemasan besar (family size) cenderung menurun, sementara barang dengan kemasan kecil, stabil dan cenderung naik (berlaku pada semua ritel)
Bagi saya, fenomena ini adalah wujud dari perubahan pola berbelanja konsumen. Konsumen kini semakin bijaksana dan selektif dengan membeli apa yang mereka butuhkan, dan bukan pada apa yang mereka inginkan!Memang betul, supermarket juga dapat dipakai sebagai cermin "psikologi berbelanja" masyarakat.
Sangat menarik mencermati penurunan pendapatan hipermarket besar terkait dengan pola berbelanja konsumen ini. Biasanya di hipermarket yang luas, konsumen cenderung "mengusung" troli yang besar untuk diisi barang belanjaan. Display raksasa, troli dan rayuan para SPG sering "memaksa" konsumen untuk berbelanja lebih daripada kebutuhan mereka yang sebenarnya. Antrian di kasir yang lama, macet di jalan dan susahnya mencari parkir, kini juga menjadi pertimbangan konsumen untuk berbelanja di hipermarket yang banyak terdapat di mall.
Kini konsumen yang berbelanja ke hipermarket biasanya sudah mempunyai gambaran produk yang akan dibelinya. Setelah mendapatkannya, mereka akan segeri pergi ke kasir. Tentu saja kekecualian berlaku bagi para "window shoppers" yang ingin "berdarmawisata" menghabiskan waktu memeriksa daftar harga barang yang terpajang pada rak display.
Hal sebaliknya justru terjadi bagi minimarket yang banyak bertebaran sampai ke segala penjuru! Gerai Alfamidi dan Indomaret bahkan sering "berbagi tembok" merayu konsumen untuk berbelanja. Di gerai minimarket juga ada ATM. Bisa membeli voucher pulsa, PLN, tiket Kereta Api, BPJS dan semuanya itu memberi kemudahan bagi warga. Sebagian minimarket juga menyediakan tempat duduk buat nongkrong ala Sevel, lengkap dengan kopi panas dan aneka roti. Sepertinya harga barang sedikit lebih mahal di minimarket. Akan tetapi perbedaan Rp 100 pada harga sebungkus permen karet tidak akan membuat konsumen menjadi murka...
Kemudahan yang ditawarkan oleh minimarket (praktis, cepat, ada dimana-mana, dan sebagian buka 24 jam) jelas mempengaruhi pola berbelanja konsumen. Konsumen cenderung terlebih dahulu berbelanja ke minimarket. Ketika produk yang mereka butuhkan tidak ada disitu, barulah mereka pergi ke hipermarket. Toko online juga menawarkan beragam kebutuhan sehari-hari, yang semakin menambah derita bagi industri retail seperti hipermarket.
Data dari Aprindo jelas dapat dipakai sebagai rujukan untuk mencermati perubahan pola berbelanja konsumen ini. Pada April 2017 pertumbuhan ritel (minimarket, super market, hipermarket, department store dan wholesale atau kulakan) berkisar pada angka 4,1%-4,2% lalu menurun ke level 3,5%-3,6% pada Mei. Pada Juni (bulan puasa) menurun drastis, dimana untuk minimarket minus 1%-1,5% sedangkan untuk supermarket dan hipermarket minus 11%-12%! Artinya saat ini konsumen memang lebih nyaman memegang keranjang belanjaan daripada mendorong troli....
***