Akhirnya 14 taruna tingkat III di Akademi Kepolisian Semarang ditetapkan menjadi tersangka atas tewasnya Brigadir Taruna Dua Muhammad Adam pada Kamis dini hari 18-5-2017 lalu. Keempat belas tersangka yang merupakan taruna senior di sekolah Akpol tersebut terancam hukuman berat dipecat dari Akpol dan dipidanakan. 14 taruna senior itu ditetapkan tersangka dengan peran yang berbeda-beda mulai dari pengawas, pemberi arahan-arahan hingga pelaku penganiayaan.
Peristiwa kekerasan di sekolah Akpol dan juga sekolah-sekolah kedinasan “bergaya semi militer” memang sering terjadi di negeri ini. Para senior sering memukuli junior dengan alasan penegakan disiplin korps akademi. Aksi kekerasan tersebut justru sangat jauh dari pengertian penegakan disiplin. Para junior itu sebenarnya disiksa, dianiaya tanpa boleh melawan atau mempertahankan diri sama sekali! Terlepas dari makna penegakan disiplin dan kekerasan fisik itu sendiri, tindakan kekerasan tersebut sebenarnya sudah termasuk kategori kejahatan kemanusiaan yang sangat berat!
Menghukum para pelaku tidaklah pernah cukup karena bukan disitu letak persoalannya! Itulah sebabnya peristiwa seperti ini akan selalu terulang dan terulang lagi. Para pelaku tersebut hanya apes saja sebab semua taruna senior pernah menerima tindak kekerasan dari para senior mereka, dan pernah atau sering melakukan tindak kekerasan pula kepada junior mereka! Kita tidak boleh menyelesaikan persoalan ini dengan sepotong-sepotong, tetapi harus secara komprehensif, termasuk mengubah mind-set dan grand designtujuan dan konsep akademi ini agar sesuai dengan perkembangan jaman!
Fakta tak terbantahkan adalah, para Kapolda dan Kapolri kita dari dulu sampai yang sekarang ini pernah menerima tindak kekerasan dari para senior mereka, dan pernah atau sering pula melakukan tindak kekerasan kepada junior mereka! Ini merupakan tradisiyang telah dimulai sejak sekolah ini berdiri, hingga saat ini, dan sampai kapanpun kalau “program” ini tidak dihentikan! Para alumni sekolah ini tidak pernah perduli akan “tradisi bejat” ini, malah membanggakannya, sama seperti para preman yang membanggakan codet-codet bekas luka sabetan golok lawan-lawannya!
Ketika ada yang tewas, ini dianggap sebagai musibah. Sebagian mungkin berpikir, sebaiknya memang harus begitu, karena korps ini adalah untuk para lelaki sejati yang tahan banting! Sejak jaman kemerdekaan, kita “served and protect” oleh aparat-aparat dengan mindset begitu. Okelah kalau ada beberapa akademi dan gubernur akademinya yang mempunyai “kebanggaan semu” seperti itu. Terserah mereka menyusun kurikulum sekolah mereka. Tetapi ketika terjadi masalah harus ada yang bertanggung jawab, dan itu berada di pundak gubernur akademi!
Pertama, Orang tua taruna menitipkan pendidikan, kesehatan, nyawa dan masa depan putra mereka kepada gubernur akademi. Ketika para senior yang seperti pagar makan tanaman itu merenggut semuanya itu dari putra mereka, dimana tanggung jawab gubernur yang membiarkan peristiwa biadab itu terjadi di depan matanya sendiri? Kedua, Negara beserta rakyat pembayar pajak mengeluarkan biaya besar untuk pendidikan dan pelatihan taruna. Ketika biaya keluar tersebut menjadi sia-sia, siapa yang akan menggantikan biaya tersebut?
Sebenarnya kita tidak usah capai-capai mencampuri “urusan internal” pada sekolah akademi seperti Akpol dan yang sejenisnya ini. Kalau Gubernur/Direktur akademi mampu menjawab dua pertanyaan diatas dengan penjelasan yang logis, tentulah peristiwa-peristiwa seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi karena kurikulum dan mind-set para taruna akan berubah menjadi kondusif pula....
Turut berduka buat keluarga Brigdata Mohammad Adam
Reinhard F Hutabarat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H