“Perasaan cintaku kepadamu itu seperti kentut... kalau kupendam terasa sesak... tapi kalau kuungkapkan...aku merasa malu...
Kerusuhan berdarah dikawasan Mangga besar itu menurut Polisi disebabkan oleh perebutan “penguasaan lahan” antar preman yang sudah lama berkecamuk sebelumnya. Ibarat “api dalam sekam” yang hanya tinggal menunggu “pemicu” saja.
Pemicu atau provakatornya itulah yang sampai kini masih dikejar oleh pihak yang berwajib.
Konon menurut investigasi seorang intel yang tidak mau disebut namanya itu, Perkelahian yang melibatkan suku “Ambon” dan “Batak” itu, pemicunya adalah persoalan sepele, yaitu Kentut!
Ketika terjadi perundingan pembagian wilayah penguasaan diantara mereka, tiba-tiba terdengar suara yang “khas” diikuti “bau tertentu” yaitu, Kentut!
Seketika semua preman tersebut terdiam, menutup mata, menajamkan panca-indera mereka, dan berusaha meresapi suara yang khas dan bau tertentu tersebut. Tak berapa lama, kemudian, mereka berdiri dan berteriak!
Orang Ambon berteriak, “Kentut Batak!” Orang Batak berseru, “Kentut Ambon!”
***
Kentut merupakan perkara penting dalam harkat hidup masyarakat Indonesia. Kentut selalu hadir dan benar-benar nyata dalam kehidupan sehari-hari. Padahal tidak pernah diatur dalam undang-undang maupun tatanan hidup bermasyarakat. Inilah yang mengakibatkan sering terjadinya kontroversi akibat penafsiran dan implementasi yang berbeda dalam struktur kehidupan di masyarakat.
Dalam KUHP maupun KUHAP, ketentuan perihal “perkentutan” ini tidak diatur sama-sekali.
Ini memang bisa dimaklumi, sebab ketika terjadi pengaduan perkara kentut, sudah barang tentu Jaksa tidak bisa menghadirkan barang bukti dipersidangan. Itulah sebabnya secara lisan Petinggi Polri tidak jemu-jemu mengingatkan jajaran polsek agar tidak usah menangani “perkara perkara kentut!”