Ahirnya kisah testimoni Freddy Budiman berlanjut bak kisah “sinetron Raam Punjabi” yang kelihatannya akan berlangsung lama sesuai dengan keinginan pemirsa. Haris Azhar memulai kisah pembuka dengan testimoni Freddy Budiman di akun FB KontraS. BNN, Polri dan TNI kemudian melakukan serangan balik dengan mengadukan Haris Azhar. Akibatnya terjadi efek berantai pro kontra, bukan lagi mengenai nasib Freddy Budiman, akan tetapi mengenai nasib Haris Azhar.
Ahirnya publikpun terseret arus opini Haris Azhar, apalagi memang pastilah lebih banyak yang tidak suka (termasuk saya sendiri) kepada aparat kepolisian daripada yang menyukainya. Akan tetapi saya pasti akan tetap menghormati dan mencintai Polri sebagai sebuah institusi yang sangat penting di negeri ini, dan tidak terima dengan “statemen” dan “cara penyampaian” Haris Azhar dalam kapasitasnya sebagai seorang intelektual dan koordinator KontraS!
Sikap Haris Azhar dan para pendukungnya yang “meng-setup” seakan-akan Haris Azhar telah menjadi “Korban dari kejujurannya untuk mengungkapkan kebenaran” adalah sebuah perbuatan keji, nista dan pengecut dan sangat menghinakan kaum intelektual dan LSM jujur di negeri ini. Apakah KontraS bisa menerima kalau tindakan Haris Azhar dalam kapasitasnya sebagai koordinator, dianggap mewakili tujuan mulia pembentukan KontraS dulu?
Supaya fair, mari kita ikuti jalan cerita testimoni ini dengan pendekatan dari latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja Haris Azhar sendiri. (Bachelor of Laws Universitas Trisakti 1999, Master of Art University of Essex, Inggris 2010, Magister Filsafat Universitas Indonesia 2000-2003, Diploma Keadilan Transisi Pusat Internasional Keadilan Transisi Cape Town/New York)
Sejak 1999 bekerja di KontraS, sebagai anggota staf Biro Pengawasan dan penelitian,Kepala Dokumentasi Biro Riset, Kepala Riset, Investigasi dan Database Biro, Wakil Koordinator, lalu menjadi Koordinator KontraS sejak tahun 2010. 17 tahun bekerja di KontraS tentulah kemampuan investigasi Haris Azhar tidak kalah dengan kemampuan seorang Kasat Reskrim. Jadi pendidikan dan pengalaman kerjanya sudah menunjukkan kualitas seorang Haris Azhar.
Testimoni ini menceritakan banyak catatan penting,
Pertama, judul testimoni, Cerita Busuk dari seorang Bandit, dibuat pertengahan tahun 2014.
Judul testimoni ini sarat makna. Bandit memang berkelakuan busuk, makanya dia disebut bandit. Kalau bandit bercerita busuk lalu dimana anehnya? Kalau cerita ini mengandung kebenaran, seharusnya judulnya adalah “Cerita Benar dari seorang Bandit” Sekalipun seorang bandit itu berkelakuan busuk, dalam sisi humanitasnya sebagai manusia, tentulah dia mempunyai sifat yang baik juga.
Sebagai seorang “Filsuf” tentulah Haris Azhar sangat memahami konteks ini! Akan tetapi disinilah “Jebakan Betmennya” Kalau sekiranya testimoni ini “dirasa” tidak benar, Haris Azhar akan berkilah kepada judul testimoni ini... Cerita Busuk dari seorang Bandit!“Namanya juga sudah busuk...ngapain juga dipercaya..” Nah, kini kita pertanyakan motivasi Haris Azhar.
Kalau dia menceritakan cerita busuk dari “seorang busuk yang baru saja menjalani hukuman mati” kepada publik, berarti dia jauh lebih busuk daripada orang busuk yang diceritakan itu, karena orang busuk itu tidak bisa lagi berbuat kejahatan, karena dia sudah kembali kepada sang penciptanya! Karena saya percaya Haris Azhar bukan orang busuk, maka judul testimoni saya ganti dengan “Cerita Benar dari seorang Bandit”
***