Tujuh puluh dua tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan sebuah pidato tanpa judul di depan Dokuritsu Junbi Cosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) Lewat pidato ini, Soekarno kemudian menyampaikan sebuah konsep pemikiran yang ternyata mampu untuk mempersatukan seluruh rakyat Indonesia. Konsep itu kemudian disebut Pancasila, dan kemudian dipakai sebagai dasar negara Republik Indonesia. Tanggal 1 Juni akhirnya disebut sebagai hari lahirnya Pancasila. Presiden Jokowi lalu menetapkan 1 Juni menjadi Hari Libur Nasional.
Dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari, Soeharto memulai “Operasi Pancasila” untuk mempersatukan seluruh penduduk Indonesia dalam satu konsep pemahaman, yaitu menghancurkan budaya laten PKI di Indonesia lewat sebuah “Pedang Mestika” bernama Pancasila! “Operasi Pancasila” ini kemudian bahkan menyingkirkan maestro penggubah Pancasila itu sendiri. Akhirnya Bapak Bangsa itu kemudian “dimangsa oleh” anak ciptaannya sendiri. Sejak itu Pancasila menjadi sebuah “Agama baru” yang dipakai untuk melindas para “musuh negara,” mulai dari politisi, budayawan, mahasiswa, ulama hingga kaum banci dan pelacur...
Tiga puluh tiga tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, Soeharto kemudian resmi “Lengser keprabon!” Sejak hari itu era Amien Rais dengan reformasinya segera dimulai. Reformasi mengubah segalanya! GBHN, UUD-1945, UU, PP, Perppu, MPR/DPR semuanya direformasi! Potongan rambut sampai panci juga harus direformasi, karena ini memang jaman reformasi, dan supaya kita tidak disebut antek-antek ORBA Soeharto! Reformasi kemudian mengubah “mindset” anak negeri ini, mengikuti Pancasila yang hanya diingat ketika upacara Tujuh belas Agustus saja....
Sembilan belas tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 25 Mei 2017 pukul 21.00 WIB, dua buah bom panci meledak di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Ledakan bom yang melukai hati seluruh penduduk negeri ini adalah potret dari akumulasi seluruh kejahatan yang dilakukan oleh para penghianat negeri ini kepada Pancasila, yang telah memerdekakan mereka dari penjajahan asing! Para penghianat ini kemudian menggagahi Pancasila dan masyarakat Indonesia lewat aksi teror, radikalisme, primordialisme, premanisme, korupsi, kolusi dan perselingkuhan.
“Guru kencing berdiri murid kencing berlari!” kalau dua mantan Menteri Agama menggagahi Pancasila lewat aksi korupsi, apalagi yang bisa kita harapkan dari departemen yang dipimpinnya? Kalau mantan Ketua MK (Mahkamah Konstitusi) dan Hakim MK menjadi narapidana karena terlibat korupsi dan suap, kemana lagikah kita hendak mencari keadilan? Kalau Auditor BPK menerima suap dari hasil pekerjaannya, bagaimana lagi kita bisa mempercayai auditor-auditor BPK yang lain? Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan KPK, Ranu Wiharja mengungkapkan, sejauh ini terdapat 18 gubernur dan 343 bupati/walikota terjerat kasus korupsi.
Reformasi kemudian memulangkan orang-orang seperti Abu Bakar Ba’asyir kembali ke Indonesia. Pada tahun 1983, ABB ditangkap bersama dengan Abdullah Sungkar dengan tuduhan menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila. ABB juga melarang santrinya melakukan hormat bendera karena menurutnya itu perbuatan syirik. Mereka kemudian divonis 9 tahun penjara. Pada tahun 1985 ABB dan AS melarikan diri ke Malaysia, membentuk gerakan Islam radikal, Jamaah Islamiyah, yang menjalin hubungan dengan Al-Qaeda. Pada tahun 1999 ABB kemudian kembali ke Indonesia bak seorang pahlawan.
Baru saja tiba, ABB kemudian mengorganisasikan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan salah satu organisasi Islam garis keras yang bertekad untuk menegakkan syariah Islam di Indonesia. Bersamaan dengan kepulangan ABB, kemudian muncul tokoh-tokoh populer anti Pancasila seperti, Amrozi bin Nurhasyim, Dulmatin, Mukhlas, Imam Samudera, Hambali, Santoso, Dr Azahari dan Noordin M Top.
Dr Azahari dan Nurdin M Top bahkan adalah “asing-aseng” dari negeri jiran, Malaysia yang bisa seenaknya mengacak-acak penduduk negeri ini! Para teroris jahanam ini bisa seenaknya menggagahi Pancasila dan NKRI adalah karena para reformis gadungan itu sibuk mengurus bancakan jabatan dan konsesi-konsesi bisnis, tanpa mau memperdulikan rakyat negeri ini. Para teroris ini sengaja dibiarkan merajalela agar fokus perhatian masyarakat teralihkan dari mereka. Awal tahun 2000-an itu, masyarakat internasional kemudian menyebut Indonesia sebagai sarang teroris...
Reformasi ternyata membuat banyak penduduk negeri ini dirasuki kekuasaan dan hedonisme. Reformasi membutuhkan ribuan “orang edan” yang bersedia menjadi Gubernur, Walikota/Bupati, beserta perangkat SKPD-nya, anggota DPD, DPR, DPRD tingkat I dan II. Disebut edan, karena dibutuhkan triliunan rupiah untuk keperluan Pileg dan Pilkada.
Bukan hanya menghamburkan uang saja, para “kandidat penguasa” itu kemudian memakai jasa preman, kaum radikal dibalik jubah agama, dan teroris untuk menjatuhkan para pesaingnya. Mereka lalu mengusung konsep-konsep primordialisme, yang kesemuanya itu justru semakin menjauhkan penduduk negeri ini dari nilai luhur Pancasila.
Reformasi jelas telah berhasil menghilangkan kesaktian Pancasila. Mind-set kita yang sudah terlanjur melenceng membuat kita sulit memahami dan mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Parameternya jelas sekali kelihatan. Mari kita hitung dalam dua dekade terakhir ini. Ada berapa rumah ibadah yang dirusak dan dibakar? Persekusi, pemerasan dan intimidasi setiap hari terjadi, yang semakin menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab.