Amien Rais tengah berduka! Beliau gundah karena ketahuan menerima uang sebesar Rp 600 juta rupiah dalam enam kali transfer, yang diduga berasal dari uang haram eks korupsi mantan Menkes Siti Fadilah pada proyek pengadaan Alkes beberapa tahun yang lalu. Lalu Amien Rais lewat konferensi persnya di kediamannya kemarin mengatakan bahwa uang tersebut bukan dari hasil korupsi proyek Alkes, melainkan berasal dari “bantuan” Soetrisno Bachir yang rutin memberikan bantuan bulanan kepadanya.
Dengan tetap menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah, saya mencoba memahami kasus ini jauh kebelakang, dan mencoba merangkainya satu persatu. Tidak ada yang kebetulan, dan tidak ada satupun peristiwa yang terjadi tanpa keterkaitan dengan peristiwa lainnya! Dari sinilah pencarian jawaban itu dimulai....
Pertama, Menteri Kesehatan, Siti Fadilah
Siti Fadilah adalah Menteri Kesehatan periode 2004-2009. Pengangkatan Siti sebagai Menkes merupakan hasil rekomendasi Muhammadiyah. Siti didakwa menyalahgunakan jabatannya sebagai Menkes dengan menunjuk langsung PT Indofarma sebagai rekanan dan PT Mitra Medidua sebagai supplier pada proyek di Departemen Kesehatan tanpa melalui proses tender. Hal tersebut diduga menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 6,1 miliar. Sejumlah uang hasil keuntungan dari PT Mitra Medidua tersebut, disebut mengalir ke rekening pengurus Dewan Pimpinan Pusat PAN, termasuk ke rekening Amien Rais.
Disini jelas kelihatan korelasi “Ada ubi ada talas, ada budi ada balas!” Tokoh-tokoh Muhammadiyah membantu Siti menjadi Menkes, Siti lalu membalas budi tersebut dengan menerobos aturan Kepres, dengan menunjuk langsung PT Indofarma tanpa melalui proses tender. Mungkin masyarakat akan bertanya, PT Indofarma adalah BUMN dan perusahaan publik yang tidak ada kaitannya dengan Amien Rais. Lalu dimana korelasinya?
Kedua, PT Mitra Medidua danPT Indofarma
Memang Menkes menunjuk PT Indofarma sebagai pemenang proyek. Akan tetapi secara implisit, Menkes bersama Nuki (adik ipar Soetrisno Bachir, Ketua PAN ketika itu) menunjuk PT Mitra Medidua menjadi supplier PT Indofarma. Pada September 2005, Siti beberapa kali bertemu dengan Dirut PT Indofarma dan Nuki selaku Ketua Sutrisno Bachir Foundation (SBF) untuk menggodok proyek ini.
Ini adalah strategi jitu dan lazim digunakan untuk mengelabui semua pihak. PT Indofarma adalah Perusahaan Terbuka yang laporan keuangannya harus transparan, dan tak mungkin ada aliran dana tak wajar dalam pembukuan mereka. Itulah sebabnya mereka mencantolkan PT Mitra Medidua menjadi mitra kerja, sebagai “Perusahaan di dalam perusahaan” Sebenarnya ada beberapa opsi untuk pola kerjasama seperti ini. Tetapi dalam proyek kali ini, PT Indofarma “hanya pinjam nama saja!” yang bekerja adalah PT Mitra Medidua.
Pada tanggal 4 April 2006 Depkes melunasi pembayaran kontrak pekerjaan PT Indofarma senilai Rp 15,54 miliar (Rp 13,9 miliar setelah dipotong pajak) Selanjutnya PT Indofarma melunasi pembayaran kontrak pekerjaan PT Mitra Medidua senilai Rp 13,5 miliar. Artinya yang bekerja adalah PT Mitra Medidua, sedangkan PT Indofarma mendapat kompensasi senilai Rp 400 juta atas jerih payahnya tersebut. Menurut jaksa KPK, kerugian negara sekitar Rp 6,1 miliar akibat perselingkuhan ini.
Ini memang sangat keterlaluan! Bagaimana mungkin sebuah BUMN, Perusahaan Terbuka yang sudah tercatat di lantai Bursa masih mau melakukan tindakan tidak etis begini. Depkes memberikan kontrak pekerjaan kepada PT Indofarma dengan nilai Rp 15,54 miliar. Lalu PT Indofarma memberikan kontrak pekerjaan yang sama kepada PT Mitra Medidua dengan nilai Rp 13,5 miliar. Artinya, pertama, PT Indofarma adalah calo, makelar proyek! Kedua, PT Indofarma memang ikut terlibat atau turut serta dalam konspirasi kejahatan ini. Ada baiknya KPK juga memeriksa aliran dana ke pengurus PT Indofarma saat itu.
Ketiga, Sutrisno Bachir Foundation (SBF)