Siang itu langit di seputar Jalan Mangga Besar, Jakarta terlihat gelap dipenuhi awan tebal keabu-abuan. Rintik hujan yang membasahi bumi semenjak pagi membuat udara menjadi dingin-dingin empuk.
Tampak sosok malaikat maut pencabut nyawa dengan tenangnya memasuki sebuah hotel di sudut jalan. Sosok itu terlihat biasa saja, tidak mencolok, karena ia mengambil rupa seperti sosok Brad Pitt. Kepada resepsionis cantik itu ia mengaku bernama Lizal Lamli, bukan Pakde Kartono.
Dalam sekelebat sosok Lizal sudah berada di lantai 7. Tepatnya di kamar 707. Di atas ranjang terlihat seorang lelaki paruh baya terbaring letih tanpa sehelai benang pun menutupi perut buncitnya itu. Peluh membasahi sekujur tubuhnya. Matanya separuh terpejam dengan mulut menganga tanpa daya.
Lizal kemudian berbisik ke telinga lelaki itu, "Waktumu sudah tiba, aku malaikat pencabut nyawa yang hendak membawamu sekarang juga."
"Yah Tuhan!" teriak lelaki itu terkedjoet. Ia kemudian memohon agar diberi waktu untuk berpakaian dan nyawanya agar dicabut di luar hotel tersebut. Lizal kemudian menyetujui permintaan lelaki itu. Kebetulan tak jauh dari hotel itu ada sebuah gereja kecil. Yah, mati ketika berdoa di dalam gereja tentu pahalanya lebih besar daripada mati di atas kasur hotel jam-jaman.
Lizal kemudian mendekati jendela, menatap ke arah jalan yang sepi. Hujan masih saja turun tanpa rasa malu, mengakibatkan genangan di atas jalan aspal berlubang. Ah, genangan akan selalunya menimbulkan kenangan masa lalu. Lizal kemudian mengisap sigaret yang diambilnya dari atas coffe table. "Ih!" Lizal terkesiap. Rokok ini rupanya ada "isinya." Rupanya lelaki tadi mengeluarkan sebagian tembakau dari batang rokok, lalu memasukkan ganja ke dalamnya.
Lizal lalu mengamati nyala api rokok itu. "Wah fixed ini ganja Aceh, bukan Himalaya!" seru Lizal. Sebab menurut Rocky Gerung, ganja Aceh kalau dibakar warna apinya merah muda. Sedangkan ganja Nepal itu sama seperti rokok. Artinya, lebih murni ganja Aceh daripada ganja Nepal! Entah lah kalau Rocky Gerung ngibul. Soalnya Lizal bukan ahli perganjaan, ia cuma ahli pencabutan.
Walaupun menatap ke depan jalan, tapi dengan indra keenam yang dimilikinya, Lizal kemudian menatap ke dalam kamar mandi yang berada di belakangnya. Seorang perempuan kinyis-kinyis cantik tampak sedang berbaring di dalam bathtub berisi air hangat.
Tingginya tak kurang dari 170 cm dengan berat tak lebih dari 55 kg. Matanya terpejam menikmati pijatan air hangat dari jacuzzi yang mendekap seluruh tubuh mulusnya itu.
Lizal menghela nafas panjang. Wajah perempuan kinyis-kinyis itu mengingatkannya akan seseorang nun jauh di sana, di masa yang silam. Apakah itu di masa Lebaran Kuda? Oh, sepertinya bukan! Lizal kini ingat. Yah itu di masa Perang Salib seribu tahun lalu, persis di awal Lizal bertugas sebagai malaikat pencabut nyawa.