Namun kemudian, kita kehilangan devisa trilyunan rupiah. Para bule Eropa itu berkunjung ke Indonesia dengan memakai pesawat asing-aseng! Orang Indonesia, bahkan termasuk pejabat sekelas menteri pun kalau ke Eropa harus naik pesawat asing-aseng juga! Dulu tokoh masyarakat yang suka "mengkafir-kafirkan orang lain" itu kalau ke Eropa ya pasti naik pesawat asing-aseng juga!
Ini lah akibatnya kalau kita tidak mau MEMPERBAIKI DIRI. Kita lebih suka menyalahkan orang lain atas kekurangan kita daripada memperbaiki diri agar bisa lebih baik atau setidaknya setara dengan orang lain. Selain tidak mau memperbaiki diri, poin penting lainnya adalah TIDAK PERDULI.
Masalah di Garuda ini semakin kacau karena PIC (Personnel In Charge) tidak ada atau tidak efektif. Siapa sebenarnya orang yang bertanggungjawab terhadap logistik di pesawat?
Berdasarkan vlog Rius di youtube tersebut, keluhan utama para penumpang kelas bisnis adalah karena ketiadaan wine, lebih tepatnya jumlah wine terlalu sedikit bagi kebutuhan penumpang. Sementara menu tulisan tangan justru tidak terlalu dipersoalkan para bule itu. Tapi anehnya Garuda lebih suka mempersoalkan "Menu Sementara yang tidak untuk disebarluaskan" itu daripada masalah utamanya sendiri, yaitu wine!
Selain faktor kenyamanan, orang membeli tiket kelas bisnis yang mahal itu untuk menikmati F&B (Food and beverages) mewah termasuk champagne dan wine tentunya. Nah, lalu kenapa wine tidak cukup? Apakah ini kebijakan manajemen, atau ada orang dalam yang "menyedotnya." Tentu menjadi tanggungjawab manajemen untuk menjelaskannya.
Di tengah isu-isu tidak sedap perihal naiknya harga tiket pesawat, seharusnya YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) juga cepat merespon hal ini. Sudah lah harga tiket mahal, faktor keselamatan dan ketepatan waktu sering terabaikan, kini hak-hak konsumen dalam kenyamanan juga diperkosa...
***
Di atas sudah dijelaskan bahwa masalah utama sebenarnya adalah ketiadaan wine. Seharusnya manajemen kini sudah gampang menjawabnya. Wine menghilang karena mungkin ada yang menilepnya, ada staff yang melalaikan tugasnya, atau memang itu adalah murni kebijkan manajemen untuk meraup untung banyak dari konsumen.
Kini mari kita lihat bagaimana cara Garuda menyikapi dan menyelesaikan persoalan ini. Pertama manajemen "meminjam tangan" Sekarga untuk membereskan Rius, karena mereka menyangka dengan menyumpal mulut Rius, maka isu hilangnya wine dari kabin kelas bisnis ini akan luput dari perhatian masyarakat.
Cara ini mirip-mirip dengan cara perusahaan leasing menyelesaikan masalah mereka dengan debitur yang menunggak cicilan. Debt collector sebagai pihak ketiga yang disewa perusahaan leasing biasanya melakukan improvisasi dalam bentuk pressure terhadap debitur sebagai bagian dari win-win solution bagi semua pihak (lessor, debitur dan debt collector)
Ini adalah cara yang jitu dan aman bagi pihak leasing. Sekiranya nanti ada "tindakan kurang terpuji" dilakukan debt collector, maka pihak kreditur akan dibebaskan dari segala tuntutan, karena itu sepenuhnya menjadi tanggungjawab pribadi debt collector.