Awal januari 2005, dengan menumpang truk pengangkut bantuan sembako dari Medan, Syaiful baru saja tiba dibatas kota Banda Aceh. Kemarin dia baru saja tiba dari Jakarta. Karena bandara Blang Bintang tidak dapat didarati oleh pesawat, ia lalu menumpang truk itu ke Banda Aceh.
Seketika ratap tangisnya meledak tak terkendali. Supir truk itu berusaha membujuknya, “Istighfar bang, sabar..” akan tetapi tangisnya tidak juga berhenti.
Minggu lalu dia berangkat ke Jakarta bersama Fitri, istrinya untuk berbelanja rutin keperluan dagangannya di Banda Aceh. Biasanya mereka berbelanja bulanan ke Medan. Karena tiba-tiba sakit, ia memilih “check-up” dan beristrahat dua hari di rumah sakit. Syaiful kemudian menyuruh istrinya untuk pulang duluan ke Banda Aceh. Lalu terjadilah bencana yang sangat mengerikan itu.
***
Syaiful duduk termangu diatas tanah berair itu. Itu adalah bekas rumahnya yang sudah tidak berbentuk lagi. Sejak pagi hari hingga menjelang maghrib dia tidak beranjak dari tempat itu. Dia lalu memanggil Fitri, Hasan, anak sulungnya, Meutiah, putrinya dan Husni, putra bungsunya. Dia lalu berdiri dan berkata, “Husni.. ini ayah nak.. Ayah bawa mainan nak.. kamu dimana nak?” katanya sambil mengeluarkan sebuah mainan dari tas plastik.
Dia Kemudian berlari sambil membawa mainan itu ditangannya dan berteriak memanggil anak-anaknya, ”Husni....” Dia berlari saja tanpa arah karena tidak tahu kemana harus mencari mereka. Seluruh kompleks perumahan yang dulunya ramai itu seketika sunyi senyap, dan berubah menjadi tanah lapang rata berair karena dihantam oleh badai Tsunami.
Syaiful tidak sendirian disitu. Ada ratusan atau mungkin ribuan orang yang mencari-cari sanak keluarganya, bahkan ada yang sudah berhari-hari berada ditempat itu. Ratapan pilu dan tangisan menemani mereka mencari sanak saudaranya. Tidak ada yang bertegur sapa ditempat itu. Mereka hanya berbicara, bertanya dan menjawab kepada diri mereka sendiri.
Syaiful sudah sebulan mencari keluarganya, tapi dia belum menemukannya. Sejak fajar menyingsing hingga maghrib tiba, dia terus mencari mereka. Dia sering menemukan mayat yang tergeletak ditepi pantai atau disemak-semak, atau bahkan diatap rumah, tetapi itu bukan mereka. Penampilannya sudah seperti gelandangan yang tidak terurus, tetapi dia tetap gigih mencari mereka keposko-posko, rumah sakit, dan pusat-pusat relawan.
Dia tidak punya tempat tinggal dan tidak punya apa-apa lagi. Dia beristirahat dan tidur dimana saja dia merasa letih, dan dia tidak perduli dengan orang lain. Mukanya selalu murung, terkadang menangis sendiri, dan terkadang tertawa sendiri ketika mengingat saat-saat bersenda-gurau dengan keluarganya. Hanya kata “Husni” yang sering keluar dari mulutnya.
Ketika dia ingin makan, dia akan berkata, ”Husni sudah makan? Ayah makan dulu ya nak” lalu ia pun makan. Ketika dia ingin minum, dia berkata, “Husni haus? Ayah minum dulu ya nak” lalu ia kemudian minum. Tetapi ia tidak sendirian. Puluhan ribu orang-orang bertingkah-laku seperti Syaiful didaerah yang terkena hantaman Tsunami itu. Sebelum melihat mayat keluarganya, mereka akan tetap menganggap mereka masih ada. “Mereka yang hilang itu hanya bersembunyi, menunggu diketemukan oleh mereka yang mencarinya.....”
***