“Saya tidak terima! Saya manusia bukan binatang. Saya berada disini selama bertahun- tahun tanpa pernah diadili. Adili dan tunjukkan kesalahan saya. Saya tidak terima!”
Pagi hari pertengahan tahun 1978 itu, Lukman duduk termangu diatas dingklik kayu sambil sesekali menghisap rokok kreteknya. Lelaki berusia empat puluh tahun itu merasa gamang hendak kemana. Haru-biru politik ahir september 1965 telah menyeretnya kemari. Tempat ini bernama pulau Buru, penjara tahanan politik ex G30S PKI. Dia hanya segelintir dari ribuan tapol lainnya yang tidak ada urusannya dengan PKI.
Juni 1965 Lukman baru saja bekerja di Penerbitan itu. Dia bekerja sebagai penterjemah buku-buku asing terutama dari negeri-negeri Timur, seperti Yugoslavia, Rumania atau Cekoslovakia. Dia tidak asing dengan negara-negara itu karena pernah mendapat beasiswa dari pemerintah Rumania untuk belajar Kesusasteraan Rumania di Bucharest, dan sering mengunjungi pertunjukan musik di negara-negara Balkan tersebut.
Lalu terjadilah “Peristiwa berdarah” tersebut. Ternyata pemilik penerbitan tersebut pernah membantu dana penerbitan salah satu buku berhaluan “kiri” sehingga seluruh karyawan penerbitan itu digelandang ke “Guntur” untuk diperiksa. Sejak itu, ia tidak pernah lagi menginjakkan kakinya dirumahnya hingga saat ini. Catatan di paspor dan beasiswa dari negara berhaluan “kiri” membuatnya mendapat tempat “istimewa” bagi para pemeriksanya.
Setiap hari selama berjam-jam, dia diinterogasi dengan puluhan pertanyaan yang sama dan berulang-ulang. Tak jarang dia disiksa secara fisik dan mental. Berbulan-bulan dia mengalami siksaan tersebut karena tidak mau mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Tapi ahirnya dia tidak tahan lagi. Manusia memang lebih suka mendengar “apa yang ingin didengarnya” daripada “kebenaran” Dia seorang seniman, dan dia menyihir mereka dengan “bualan segi-tiga Moskwa-Bucharest-Jakarta” “Segi-tiga” itu katanya kalah cepat dengan “poros Peking-Jakarta” yang lebih dahulu melakukan gerakan melalui Aidit.
Kabar pengakuan tersebut, sontak membuat semuanya gempar. Para interogator itu mendapat kenaikan pangkat istimewa, dan membuat mereka semakin bernafsu “ingin mendengar apa yang mereka ingin dengar” dari tahanan lain!
Walaupun Lukman hanya satu-satunya yang bukan “geng” Poros Peking-Jakarta, kasusnya segera ditutup, dan dia tetap dikirim ke pulau Buru sebagai tapol tanpa pernah diadili.
Posisinya yang “istimewa” tersebut membuat tak ada satupun keluarga atau teman yang berani menjenguknya. Perlu waktu yang lama baginya untuk bisa menerima keadaannya itu. Delapan tahun yang lalu dia mendengar kabar isterinya telah menikah lagi, tidak berapa lama setelah kematian ibunya yang sudah lama menjanda itu. Adiknya yang sedang mengambil magister Teknik Industri di Moskow, juga tertahan tidak bisa pulang. Paspor Indonesianya dicabut oleh KBRI Moskow sehingga menjadi warga-negara tak bertuan, melanglang buana ke negara-negara Timur yang menerima suaka politik tanpa bisa memiliki “ID” di negara tersebut.
Kepada ex tapol tersebut, pemerintah memberikan opsi, tetap tinggal di pulau buru, menjadi transmigran ke kalimantan, atau kembali ketempat asal. Tetapi pada KTP mereka tetap ditandai dengan catatan khusus seperti penyandang lepra, yang membuat mereka tidak akan pernah bisa diterima bekerja, bahkan sebagai kuli bangunan sekalipun!
Lukman memutuskan kembali ke Jakarta. Kini dia telah berdamai dengan dirinya. Dia sudah bisa menerima keadaannya dan menganggapnya sebagai takdir jalan hidup anak manusia. Hatinya sudah beku, pikirannya mungkin sudah tumpul, tetapi api jiwanya tidak pernah padam.
Saat ini hasrat menulisnya seolah tidak tertahankan. Semua hasil tulisannya selama menjadi tapol telah disita. Tetapi mereka lupa, dia seorang seniman. Raganya bisa terkurung, tapi jiwanya tidak akan pernah lupa, dan selalu bebas pergi kemana saja dia mau.