Perbincangan kala Hujan
“Kenapa?” tanyaku
“Tak apa, hanya sedang gelisah…” jawabnya lirih
“Ada yang bisa kubantu?”
“Tidak, tidak, ini hanya masalah sepele.” ia mengulas senyum, membuatku tersenyum juga. Ia bilang ini masalah sepele. Tapi bagiku terlihat tak sepele. Gadis ini berulang kali menatap handphone-nya, seperti menunggu sesuatu.
“Ada yang ditunggu ya?” tanyaku lagi, ingin tau.
“Hemm… yaa.. kurang lebih seperti itu” jawabnya lagi sambil tersenyum.
Malam itu hujan turun membasahi jendela kaca di samping kami. Jendela itu menampakkan sisi keramaian yang tak biasa. Hening diantara kami membuat keramaian di luar semakin berjarak.
“Ada yang datang, ada yang pergi, begitulah Ia mengajarkan pada kita bahasa kehidupan” gadis di depanku bergumam. Aku menahan nafas.
“Kita tak bisa menolak, sedikit pun, baik dalam keadaan suka atau tidak, rela atau tidak, jika Ia berkehendak maka apapun bisa terjadi.” lanjutnya. Aku semakin bingung.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Sejujurnya aku tak terlalu tahu apa aku suka kondisi seperti ini, berada dalam sebuah perahu tanpa layar, mungkin aku punya dayung, tapi gelombangnya begitu besar. Lautan ini begitu panjang, aku tahu dimana pantainya, tapi sungguh, aku tak yakin apakah aku sanggup mengarunginya dalam waktu lama. Andai aku bisa memotong waktunya, melalui jalur lain yang lebih singkat. Sayang, resikonya terlalu besar. Tak ada yang bersedia.” ia menceracau lagi. Aku diam, kali ini benar-benar tak bisa memahaminya.
“Tapi disisi lain, entah kenapa aku merasa bahagia. Ini seperti keluar rumah dan melihat salju untuk pertama kalinya dalam hidupmu. Ada sensasi berbeda, yang menggoda, menantang, penuh misteri. Atau ini seperti melihat musim semi yang penuh dengan cahaya dan harapan, bunga-bunga tumbuh dan burung-burung berkicau dengan merdunya, seisi alam terasa lebih indah, dan kau baru menyadarinya” ia bergumam lagi dengan penuh senyuman. Ada rona bahagia disana. Aku membalasnya dengan senyum hangat semampu yang kubisa.
“Namun sayangnya, kondisiku tak terlalu baik untuk berlayar. Angin kencang bertiup dari segala penjuru, melemahkan hati dan tubuhku. Hati yang lemah akan melemahkan tubuh dan pertahanan. Aku tahu penyebabnya, meski tak tahu alasannya. Aku tahu awal mulanya, meski tak bisa menghentikanya, aku tahu, tapi ini membuatku tak mampu. Datang tiba-tiba, menyingkap tabir kabut dan membawa kehangatan cahaya. Tiba-tiba ada beragam rupa. Gelisah, resah, khawatir, kecewa, terluka, bahagia, harapan, keputus-asaan, semangat, dan kebimbangan. Semuanya bercampur. Membuatku lemah, sungguh.” Ia bergumam cepat, aku menangkapanya sambil megeja satu-satu dalam otakku yang terlalu lamban.
“Seperti hari ini. Angin bertiup kencang, dan aku merasa lemah, sangat lemah.”
Ia mengakhiri kalimatnya sambil menatap rintik hujan yang semakin banyak menetes di jendela, membentuk embun. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya, tapi, ada kebahagiaan disana, ada kekhawatiran, ada kegelisahan, ada harapan, ada ketakutan, namun ada rona lain—entah apa, tapi itu membuatnya lebih cantik dari biasanya. Aku terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Kepalaku tertunduk, menatap layar handphone ku yang menggelap, memainkan layar touch-screennya, berharap yang kutunggu muncul disana,“Apakah ia baik-baik saja?”gumamku lirih. Aku mendesah. Kuraih gelas coklat panas yang tinggal setengah-kosong. Hingga sebuah tangan lembut menyentuh pundaku.
“Udah lama nunggu? Sendirian aja nih? Aduh maaf ya jadi bikin kamu lama nunggu, habis hujan di luar deras banget.” sebuah senyum hangat yang sudah lama kukenal menyapaku. Jilbab merah mudanya hampir basah akibat rintik hujan diluar.
“Tak apa, kamu kan habis ngajar. Jadi mau ngobrol apa?” ucapku penuh senyum, mengakhiri sesi monolog di tengah hujan malam itu.
Hujan, 19 November 2011.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H