*Seri Perbincangan Kala Hujan #4 (Habis)
Malam itu hujan, seperti biasa. Aku berdua saja, duduk berhadapan dengan bujang melayu berambut ikal. Mungkin tak sabar melihatku hanya duduk diam dan memandang hujan. Ia mulai menceracau…
“Cinta A-Ling menimbulkan perasaan seperti aku baru pandai naik sepeda. Ia seperti kembang api, seperti pasar malam, seperti lebaran. Cintanya mengajakku menulis puisi, cintanya adalah sastra.”Ia bergumam lambat, ada perasaan bahagia yang aneh di ujung bola matanya. Aneh karena bahagia itu menyimpan sebersit ketakutan luar biasa.
Aku hanya menelan ludah, “benar”.
“Pada suatu kesempatan aku bertanya, “What love means to you? Dan ia menjawab: Aaa… cinta adalah channel TV! Tak suka acaranya, raih remote-mu, ganti saluran, beres!” ia menatapku seolah memohon petuah. Aku membuang muka. Apa yang bisa aku katakan?
Dan kau pun menghela nafas.
Dalam hati aku menggumam: “Cinta adalah channel TV” aku mengulangi kata-katanya lambat-lambat.
“Saat itu, aku hanya terkesiap. Sedalam mana pun perasaanku, sehebat apapun teoriku. Semudah itu saja. Bagaimana kalau nanti aku menjadi acara TV yang membosankan? Seperti Sinetron atau acara dari Desa ke Desa? Hari ini aku mengenal satu sisi dari dirinya yang harusnya kupahami sejak dulu. Baginya, cinta adalah katarsis.”
Dilematis! Menenangkannya atau menenangkan diriku sendiri? Ia membuang muka, menatap jendela. Aku menghitung hujan, membayangkan betapa mudahnya hujan jatuh, sebegitu mudahkah arti cinta bagi kaum rasional? “Harusnya aku sadar sejak dulu”, rutukku dalam hati.
“Kukatakan padanya, apa arti cinta bagiku. Kutambahkan bahwa Kami mengalami apa yang pengacara Hollywood sebut sebagai irreconciable differences, perbedaan yang tak dapat didamaikan. Aku telah berketetapan hati untuk mengakhiri romansa dan telah kusiapkan kalimat memuakkan: cinta tak harus saling memiliki. Sangat Indonesia! Sampai disini, cintaku dengannya khatam. Akhirnya kami menikmati sat-saat turning back a lover into a friend, rupanya bisa juga menjadi indah!”Ia mengakhiri cerita. Aku menutup buku dan bujang melayu itu berlalu.
***
Hujan di luar hampir reda, menimbulkan embunan di dinding kaca. Aku bertanya-tanya, apa rencana yang Tuhan inginkan? Apakah Tuhan berdusta? Atau Ia menipuku?Diam-diam aku pun ingin menggugatmu dengan banyak pertanyaan.Ini nyata atau drama? Apakah kau bersekongkol dengan Tuhan?
Ribuan tanda tanya menghardik. Aku diam dan urung bertanya.
Di sisi ruang yang lain, aku berdiri, kau pun berdiri. Kau di ujung sana mengucap salam perpisahan. Kita berjabat tangan. Ya.. selamat jalan, kawan!
*dikutip sebagian dari cuplikan Novel Edensor, selamat datang Pak Cik Andrea Hirata :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H