Pelayanan kesehatan yang berkualitas dan merata merupakan salah satu indikator utama pembangunan berkelanjutan. Target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs); agenda 2030 yang telah ditetapkan dan disepakati bersama oleh semua Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dalam bidang kesehatan menekankan betapa pentingnya akses universal terhadap pelayanan kesehatan dasar di seluruh dunia. Sayangnya, akses ini belum dapat dinikmati secara merata oleh seluruh masyarakat di Indonesia, terutama di wilayah terpencil, di mana penyediaan tenaga medis dan fasilitas kesehatan terbatas.
Kotawaringin Timur (Kotim) merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Tengah, yang memiliki keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan. Contoh nyata dari ketimpangan pelayanan kesehatan di wilayah ini adalah banyaknya desa di wilayah Kotim yang masih kekurangan kesehatan yang memadai. Karena hal ini, masyarakat di daerah terpencil harus menempuh perjalanan yang jauh dan mengeluarkan biaya yang besar untuk mendapatkan perawatan dasar (kalteng.go.id, 2024). Selain permasalahan jarak dan biaya, keterbatasan lain meliputi minimnya infrastruktur, sulitnya akses transportasi, dan kurangnya tenaga medis dan kesehatan. Meski terdapat upaya dalam menangani permasalah tersebut, seperti pembangunan Poskesdes, layanan ini sering kali tidak optimal akibat kurangnya tenaga medis, peralatan yang belum memadai, dan keterbatasan anggaran. Infrastruktur yang belum memadai turut memperburuk situasi, sementara kebiasaan tradisional yang tidak selaras dengan pendekatan medis modern seringkali menghambat penerapan layanan kesehatan.
Kurangnya jumlah tenaga medis dan kesehatan juga merupakan salah satu permasalahan utama. Menurut Wakil Direktur dari salah satu RSUD di Kotim (2024), seluruh voli per harinya bisa mencapai 400 hingga 500 pasien dari 29 voli, yang mana angka ini tidak ideal dengan jumlah tenaga medis maupun tenaga kesehatan yang tersedia. Ditambah lagi, pembangunan infrastruktur kesehatan di Kotim dilakukan tanpa adanya pertimbangan mengenai ketersediaan tenaga medis, khususnya dokter spesialis. Adapun rendahnya pemahaman masyarakat mengenai pentingnya layanan kesehatan dan kurangnya komunikasi yang efektif antara penyedia layanan dengan warga menjadi kendala tersendiri.
Dalam konteks UU Kesehatan 17 Tahun 2023, transformasi pelayanan kesehatan menjadi kunci untuk menjawab kebutuhan masyarakat, khususnya di daerah pelosok. Kondisi geografis Kotim  yang unik membutuhkan pendekatan khusus agar transformasi kesehatan dapat berjalan optimal. Pemerintah perlu lebih serius dalam melibatkan berbagai pihak, seperti sektor swasta dan komunitas lokal, untuk menciptakan solusi yang relevan dan berdampak langsung bagi masyarakat di daerah terpencil. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah daerah diharapkan dapat memanfaatkan teknologi untuk mendata kebutuhan kesehatan secara akurat, memberikan insentif khusus bagi tenaga medis yang bersedia bekerja di daerah terpencil, dan bekerja sama secara strategis dengan lembaga pendidikan kesehatan untuk mencetak tenaga medis yang mampu bekerja di daerah pelosok. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan masyarakat di wilayah pelosok, seperti Kotim, dapat merasakan manfaat dari layanan kesehatan yang berkualitas dengan wilayah lain di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H