Oleh Syamsul Yakin & Choirunisah
Selaku Dosen serta pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung, Kota Depok & Mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
Post-truth tidak hanya terjadi dalam era digital, tetapi telah ada sejak masa lampau. Nabi SAW telah meramalkan masa depan yang penuh dengan penipuan, di mana pendusta dibenarkan sedangkan orang yang jujur didustakan, dan pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang amanah dianggap sebagai pengkhianat.
Menurut Nabi SAW, post-truth berawal dari hati manusia sejak dahulu kala. Kebohongan berasa fakta telah terjadi sejak masa Nabi SAW. Post-truth adalah perilaku lama dengan kemasan baru, di mana orang tidak lagi dipengaruhi oleh opini dari sumber berita valid dan lebih percaya hoaks yang mempermainkan emosi dan akal sehat.
Post-truth muncul dari rasa ketakutan akan kejujuran orang lain dan kekhawatiran akan kekalahan dalam persaingan. Orang-orang kalah memaksa untuk menang dengan intrik, agitasi, dan kampanye hitam, sehingga pendusta dibenarkan sedangkan orang jujur didustakan. Praktik politik modern telah diterpa post-truth.
Kondisi seperti ini diperparah oleh munculnya Ruwaibidhah, representasi masyarakat online yang instan, hipokrit, anti-sosial, dan bandit. Ruwaibidhah adalah musuh bangsa-bangsa dan peradaban. Untuk memenangi persaingan ini, kita harus bermental progresif dan berwatak futurolog dengan mengusung adagium "tomorrow is today", bukan sebaliknya, menjadi kaum romantis-konvensional yang memegang teguh tajuk "yesterday is today". Kita harus melakukan shifting dan reposisi dari "penumpang" era digital kepada "pengendali" agar tidak tergilas katalis perubahan yang liar dengan kecepatan nano-second.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H