Mohon tunggu...
Choirul Asyhar
Choirul Asyhar Mohon Tunggu... -

Lahir di sebuah desa di Kab. Sidoarjo, menghabiskan waktu kuliah di Bogor, lalu mencari nafkah di Jawa Tengah dan kini sedang berlabuh di Bekasi Jawa Barat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mati Duluan

29 September 2009   17:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:39 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah azan maghrib, saya dan dua anak laki-laki saya Abyan (13) dan Adnan (5) pergi ke masjid dekat rumah. Dalam perjalanan seperti biasanya Adnan ngajak ngobrol.

“Ayah, berapa umur Ayah?”

“Empat puluh tiga!” jawabku cepat… yang ternyata salah.

“Empat puluh empat, Yah…” Abyan cepat mengkoreksi.

“O ya, sebentar lagi pas empat puluh empat.” Kataku.

“Kalau Ibu?” Tanya Adnan selanjutnya.

“Empat puluh satu!” jawabku sambil mempercepat langkahku, karena sebentar lagi pasti iqamah akan dikumandangkan. Abyan dan Adnan ikutan mempercepat langkahnya.

“Berarti Ayah duluan mati!” seru Adnan santai…. Tapi tetap mengagetkanku.

“Hhh… Apa?” Tanya Abyan kepada Adnan.

“Berarti Ayah duluan mati.” Ulangnya ringan.

Aku tetap mempercepat langkahku, sambil tersenyum, agak kecut. Siapa orangnya yang gak takut mati.

“Kalau Mas Abyan dan Mbak Ahsana siapa yang duluan mati?” tanyaku.

“Ya, mBak Ahsana.. kan dia lebih tua.”

“Kalau Adnan dan Mbah Athaya?”

“Ya, duluan Mbak Athaya.”

Aku tersenyum kecut dengan logika Adnan. Yang lebih tua bakal mati duluan.

“Kalau semua mati duluan, nanti Adnan kalau mati siapa yang nguburin?” godaku.

“Ya, orang-orang yang lainlah…” jawabnya nyantai.

Aku tersenyum lagi, ….sebenarnya sih menahan haru.Ketidakmengertiannya membuat dia gak sedih kalau ditinggal mati ayah ibu dan saudara-saudaranya.

“Adnan, pernah denger anak muda mati duluan?” tanyaku.

“Pernah, ada juga bayi yang mati.” Jawabnya santai, tanpa beban bahwa ini antitesis dari kesimpulannya terdahulu.

“Itu berarti umur manusia itu hanya Allah yang tahu.” Aku menjelaskan.

“Ada yang mati saat umurnya sudah tua, ada pula yang masih muda tapi duluan mati.” Aku melanjutkan.

Adnan tidak menjawab…. kaki-kaki kami telah menginjakkan teras masjid. Obrolan singkat ini segera terhenti, karena sholat segera dimulai.

Setelah shalat, aku cuma bisa merenungi dialog sederhana dengan si bungsu ini. Meski tidak seratus persen benar, saya bisa menerima logika Adnan. Minimal pembenarannya adalah kalau usia masih muda ada 2 kemungkinan: akan menikmati usia tua atau mati muda. Tapi bagi orang yang sudah berusia tua kemungkinannya tinggal satu yaitu mati. Karena tak mungkin ia bakal kembali menikmati masa-masa mudanya.

Rabbi…. beri kami anak-anak yang shaleh.

Rabbi ….beri kami khusnul khatimah.

Cikarang Baru, 8 Syawal 1430H/27 September 2009

Tulisan ringan lainnya bisa dibaca disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun