Di Indonesia, urusan bantuan sosial (bansos) bukan sekadar soal kemurahan hati negara, tapi juga soal ketepatan data. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) selama ini menjadi rujukan utama dalam penyaluran bansos, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan bantuan lainnya. Namun, seiring waktu, muncul banyak keluhan: data tidak akurat, ada orang yang seharusnya menerima tetapi tidak dapat, sementara yang tergolong mampu malah masuk daftar penerima.
Pemerintah kemudian menggagas Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN), sebuah langkah ambisius untuk menciptakan sistem data yang lebih solid. Tujuannya? Agar bansos benar-benar diterima oleh mereka yang berhak. Namun, apakah DTSEN benar-benar solusi dari semua permasalahan?
DTKS: Warisan Lama yang Penuh Masalah
DTKS adalah data yang dikumpulkan oleh Kementerian Sosial dan pemerintah daerah. Data ini diperbarui secara berkala melalui mekanisme pemutakhiran yang melibatkan masyarakat, aparat desa, dan petugas sosial. Dalam teori, DTKS harusnya mencerminkan kondisi sosial-ekonomi terbaru masyarakat miskin dan rentan.
Namun, dalam praktiknya, DTKS sering dianggap kurang akurat. Misalnya, data penerima bansos masih memuat orang yang sudah meninggal atau pindah ke daerah lain, sementara warga miskin baru belum terdaftar. Pemutakhiran yang lambat dan bergantung pada perangkat daerah juga memperumit keadaan. Belum lagi, adanya kemungkinan data "titipan" dari oknum tertentu yang membuat distribusi bansos jadi tidak adil.
Ketidaktepatan ini tentu berdampak besar. Selain mengurangi efektivitas bansos, kesalahan data juga bisa memicu kecemburuan sosial di masyarakat. Warga yang merasa berhak tetapi tidak mendapat bantuan bisa merasa diperlakukan tidak adil, sementara mereka yang tergolong mampu tetapi masih terdaftar bisa dianggap mencurangi sistem.
DTSEN: Harapan Baru atau Sekadar Nama Baru?
DTSEN digagas sebagai jawaban atas kelemahan DTKS. Berbeda dengan DTKS yang dikelola oleh Kementerian Sosial, DTSEN merupakan data tunggal nasional yang mengintegrasikan berbagai sumber informasi, termasuk data kependudukan, ekonomi, dan kesehatan. Dengan pendekatan ini, diharapkan data penerima bansos lebih akurat dan lebih mudah diperbarui.
Salah satu inovasi utama dalam DTSEN adalah penggunaan teknologi digital yang memungkinkan pencocokan data dengan berbagai sumber lain, seperti data pajak, catatan kependudukan, dan informasi perbankan. Dengan demikian, seseorang yang memiliki mobil mewah tetapi masih terdaftar sebagai penerima bansos bisa langsung terdeteksi dan dikeluarkan dari daftar.
Namun, sejauh mana efektivitas DTSEN dalam mengatasi masalah ketidakakuratan data? Secara teori, sistem ini memang lebih canggih, tetapi penerapannya tetap bergantung pada infrastruktur data yang kuat dan kemauan politik yang tinggi.