Pada 31 Januari 2025, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 99 tahun dalam hitungan Masehi. Hampir seabad sudah organisasi Islam terbesar di Indonesia ini berkiprah dalam berbagai bidang: agama, sosial, pendidikan, ekonomi, hingga politik. NU bukan sekadar organisasi keagamaan, melainkan gerakan kebangsaan yang turut membentuk wajah Indonesia. Tapi sejauh mana NU berkontribusi bagi bangsa ini? Dan bagaimana tantangan ke depan?
Dari Surabaya ke Nusantara: Sejarah yang Panjang
NU lahir pada 31 Januari 1926 di Surabaya, diprakarsai oleh para ulama pesantren dengan KH Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar. Latar belakang pendiriannya bukan sekadar respons terhadap dinamika keagamaan global---terutama gerakan puritanisme di Hijaz---tetapi juga keresahan atas nasib umat Islam di Hindia Belanda yang saat itu terpinggirkan secara ekonomi dan politik.
Berawal dari jaringan pesantren, NU berkembang menjadi kekuatan sosial yang luas. Perjuangan NU dalam kemerdekaan tak bisa dilepaskan dari Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, yang menyerukan kewajiban membela tanah air dari agresi militer Belanda dan sekutunya. Ini menunjukkan bahwa NU sejak awal bukan hanya membicarakan ibadah dan fikih, tetapi juga soal kebangsaan dan kemanusiaan.
NU dan Pendidikan: Membangun SDM, Bukan Sekadar Pesantren
Salah satu pilar utama NU adalah pendidikan. Pesantren menjadi laboratorium utama dalam mencetak kader intelektual Muslim yang moderat dan berakhlak. Tetapi NU tidak berhenti di sana. Sejak era 1950-an, NU mulai mendirikan sekolah umum, madrasah, hingga universitas. Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) kini tersebar di berbagai daerah, membuktikan bahwa NU tak hanya mengurusi agama tetapi juga membangun sumber daya manusia bangsa.
Lalu, bagaimana dampaknya? Menurut data PBNU, ada lebih dari 22 ribu pesantren yang berafiliasi dengan NU, dengan jutaan santri yang dididik setiap tahunnya. Namun, tantangan ke depan adalah bagaimana pendidikan NU bisa semakin beradaptasi dengan perkembangan zaman, termasuk digitalisasi dan ekonomi berbasis teknologi.
Ekonomi Kerakyatan: Dari Koin NU hingga Kemandirian Umat
NU juga memahami bahwa dakwah tidak cukup hanya dengan ceramah dan pengajian. Kesejahteraan umat adalah bagian dari dakwah itu sendiri. Oleh karena itu, NU mengembangkan berbagai inisiatif ekonomi kerakyatan, mulai dari koperasi, Baitul Maal wat Tamwil (BMT), hingga gerakan Koin NU yang berhasil menghimpun dana miliaran rupiah untuk berbagai program sosial.
Namun, kritik yang sering muncul adalah bagaimana NU bisa lebih sistematis dalam mengembangkan ekonomi berbasis umat. Peran NU dalam UMKM dan sektor pertanian masih memerlukan strategi yang lebih matang agar tidak sekadar menjadi gerakan sporadis, tetapi bisa menjadi ekosistem ekonomi yang berkelanjutan.