Bicara soal pertanian padi, petani di Indonesia sudah seperti pendekar yang terus mencari jurus terbaik untuk melipatgandakan hasil panennya. Salah satu jurus andalan yang mulai populer adalah sistem tanam jajar legowo alias jarwo. Teknik ini digadang-gadang sebagai solusi untuk meningkatkan produktivitas gabah dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan. Tapi, apa sebenarnya jarwo ini, dan bagaimana ia bekerja? Mari kita ulas dengan gaya bertutur yang ringan namun tetap tajam.
Apa Itu Jajar Legowo?
Secara sederhana, jajar legowo adalah pola tanam padi dengan mengatur jarak dan posisi tanaman sehingga ada ruang kosong di antara deretan padi. Biasanya, pola ini memanfaatkan sistem 2:1, 4:1, atau 6:1. Misalnya, pada pola 2:1, setelah dua baris tanaman padi, dibuat satu baris kosong sebagai lorong. Jadi, padi tidak ditanam berjajar rapat seperti sistem konvensional.
Konsep ini sebenarnya diadaptasi dari filosofi Jawa, di mana kata "legowo" merupakan akronim dari "lego" (lega) dan "dowo" (panjang). Pola tanam ini menciptakan ruang lega yang panjang untuk memaksimalkan penetrasi sinar matahari dan sirkulasi udara ke tanaman padi.
Mengapa Sistem Jajar Legowo?
Petani tradisional biasanya lebih suka menanam padi rapat-rapat dengan asumsi semakin banyak rumpun, semakin tinggi hasilnya. Namun, kenyataannya, pola tanam rapat malah mengundang berbagai masalah. Tanaman yang terlalu berdekatan membuat persaingan antar tanaman menjadi lebih tinggi, baik dalam hal penyerapan nutrisi, air, maupun cahaya matahari. Akibatnya, pertumbuhan tanaman menjadi tidak optimal.
Di sinilah keunggulan jarwo muncul. Dengan lorong kosong di setiap beberapa baris, tanaman padi memiliki akses lebih baik terhadap sinar matahari dan udara. Hasilnya? Fotosintesis meningkat, perkembangan anakan padi lebih maksimal, dan risiko serangan hama serta penyakit menurun.
Bukti Ilmiah: Data dan Analisis
Menurut penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), penerapan sistem jarwo mampu meningkatkan hasil gabah hingga 15-20% dibandingkan pola tanam konvensional. Penelitian ini dilakukan di berbagai daerah, mulai dari Jawa hingga Sumatra, dengan hasil yang cukup konsisten.
Peningkatan hasil ini disebabkan oleh beberapa faktor: