"Jadi, kita harus bergerak sekarang untuk membuat tanggul sementara di dekat sungai," lanjut Andi. "Kalau tidak, air akan masuk ke desa."
Pak Darmo mengangguk, merasa ada benarnya ucapan Andi. "Baik, kita ikuti saran Andi. Semua lelaki dewasa ikut ke sungai, bawa karung, bambu, atau apa pun yang bisa kita gunakan untuk menahan air. Para ibu dan anak-anak tetap di rumah, siapkan segala keperluan kalau-kalau kita harus mengungsi."
Malam itu, warga desa bekerja sama di bawah rembulan merah. Andi memimpin para pemuda membuat tanggul darurat dengan karung pasir dan batang bambu. Pak Darmo mengatur warga lainnya, memastikan semuanya berjalan lancar.
Menjelang fajar, air sungai mulai surut. Warga bersorak lega, sementara Andi terduduk lemas di tepi tanggul. Pak Darmo menepuk bahunya sambil tersenyum. "Kau anak muda yang cerdas, Andi. Kalau bukan karena pengetahuanmu, mungkin desa ini sudah kebanjiran."
Andi tersenyum malu-malu. "Saya hanya membaca, Pak. Yang bekerja keras adalah kita semua."
Sejak malam itu, rembulan merah tidak lagi dianggap sebagai pertanda buruk oleh warga desa. Mereka menyadari bahwa apa pun yang terjadi, selama mereka bekerja sama dan mau belajar, setiap masalah pasti bisa diatasi.
Dan Andi, pemuda yang dulunya sering diejek, kini menjadi panutan. Ia membuktikan bahwa ilmu, meski sering dianggap sepele, bisa menjadi penyelamat di saat-saat genting.
Rembulan merah itu akhirnya menjadi kenangan indah, bukan lagi momok menakutkan. Sebuah malam yang mengajarkan keberanian, kebersamaan, dan pentingnya berpikir dengan akal sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H