Mohon tunggu...
Choirul Anam
Choirul Anam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis Partikelir

Ngaji, Ngopi, Literasi, Menikmati hidup dengan huruf, kata dan kalimat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hari Desa Nasional: Merayakan Desa, Menumbuhkan Kemandirian

14 Januari 2025   08:10 Diperbarui: 14 Januari 2025   20:13 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hari Desa Nasional | memorandum.disway.id

Sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diundangkan, desa menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional. Tidak lagi dianggap sebagai "anak bawang" dalam struktur pemerintahan, desa kini memiliki kedudukan strategis dengan otonomi lebih besar dan dana desa yang kian meningkat setiap tahunnya. Namun, apakah desa sudah benar-benar mandiri? Atau hanya sekadar menjadi "mesin birokrasi baru" tanpa arah jelas? Mari kita telusuri perjalanan ini.

Desa dan UU Desa: Sebuah Titik Balik

Sebelum UU Desa diterapkan, desa lebih sering dilihat sebagai objek pembangunan, bukan subjek. Pemerintah pusat dan daerah mengatur dari atas, sering kali tanpa melibatkan masyarakat desa. Akibatnya, banyak program yang tidak sesuai kebutuhan setempat. Namun, dengan lahirnya UU Desa, paradigma itu berubah. Desa kini memiliki kewenangan untuk merancang dan menjalankan program sesuai potensi dan kebutuhannya.

UU ini juga membawa angin segar melalui dana desa, yang terus meningkat dari Rp20,8 triliun pada 2015 menjadi lebih dari Rp70 triliun pada 2023. Dana ini ditujukan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hingga mendorong kemandirian ekonomi desa. Tetapi, apakah dana desa benar-benar efektif?

BUMDes: Pilar Ekonomi Desa

Salah satu elemen kunci dalam UU Desa adalah pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes dianggap sebagai "mesin ekonomi" yang dapat menggerakkan potensi lokal. Misalnya, desa dengan potensi wisata dapat mendirikan BUMDes untuk mengelola pariwisata, seperti di Desa Ponggok, Klaten, yang sukses mengelola Umbul Ponggok hingga menjadi destinasi wisata air terkenal.

Namun, cerita manis BUMDes tidak selalu berlaku di semua desa. Data Kementerian Desa menunjukkan bahwa dari sekitar 60 ribu desa, lebih dari 50 persen BUMDes belum beroperasi optimal. Banyak yang hanya menjadi formalitas, tanpa strategi bisnis yang jelas. Beberapa bahkan mengalami kebangkrutan karena salah pengelolaan atau minimnya kemampuan sumber daya manusia.

Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pelatihan dan pendampingan. Banyak kepala desa yang masih gagap dalam mengelola dana besar, apalagi membangun BUMDes yang profesional. Selain itu, mentalitas birokrasi masih kerap menghambat. BUMDes, yang seharusnya berorientasi pada pasar, sering kali terjebak dalam praktik "asal ada program."

Tantangan Desa dalam Mengelola Otonomi

Meski desa kini memiliki kewenangan dan dana lebih besar, tantangan yang dihadapi tidak sedikit. Salah satunya adalah persoalan transparansi dan akuntabilitas. Data ICW menunjukkan bahwa selama 2015-2021, lebih dari 600 kepala desa terlibat kasus korupsi, dengan total kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun