Sejak Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa diundangkan, desa menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional. Tidak lagi dianggap sebagai "anak bawang" dalam struktur pemerintahan, desa kini memiliki kedudukan strategis dengan otonomi lebih besar dan dana desa yang kian meningkat setiap tahunnya. Namun, apakah desa sudah benar-benar mandiri? Atau hanya sekadar menjadi "mesin birokrasi baru" tanpa arah jelas? Mari kita telusuri perjalanan ini.
Desa dan UU Desa: Sebuah Titik Balik
Sebelum UU Desa diterapkan, desa lebih sering dilihat sebagai objek pembangunan, bukan subjek. Pemerintah pusat dan daerah mengatur dari atas, sering kali tanpa melibatkan masyarakat desa. Akibatnya, banyak program yang tidak sesuai kebutuhan setempat. Namun, dengan lahirnya UU Desa, paradigma itu berubah. Desa kini memiliki kewenangan untuk merancang dan menjalankan program sesuai potensi dan kebutuhannya.
UU ini juga membawa angin segar melalui dana desa, yang terus meningkat dari Rp20,8 triliun pada 2015 menjadi lebih dari Rp70 triliun pada 2023. Dana ini ditujukan untuk membangun infrastruktur, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hingga mendorong kemandirian ekonomi desa. Tetapi, apakah dana desa benar-benar efektif?
BUMDes: Pilar Ekonomi Desa
Salah satu elemen kunci dalam UU Desa adalah pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes dianggap sebagai "mesin ekonomi" yang dapat menggerakkan potensi lokal. Misalnya, desa dengan potensi wisata dapat mendirikan BUMDes untuk mengelola pariwisata, seperti di Desa Ponggok, Klaten, yang sukses mengelola Umbul Ponggok hingga menjadi destinasi wisata air terkenal.
Namun, cerita manis BUMDes tidak selalu berlaku di semua desa. Data Kementerian Desa menunjukkan bahwa dari sekitar 60 ribu desa, lebih dari 50 persen BUMDes belum beroperasi optimal. Banyak yang hanya menjadi formalitas, tanpa strategi bisnis yang jelas. Beberapa bahkan mengalami kebangkrutan karena salah pengelolaan atau minimnya kemampuan sumber daya manusia.
Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pelatihan dan pendampingan. Banyak kepala desa yang masih gagap dalam mengelola dana besar, apalagi membangun BUMDes yang profesional. Selain itu, mentalitas birokrasi masih kerap menghambat. BUMDes, yang seharusnya berorientasi pada pasar, sering kali terjebak dalam praktik "asal ada program."
Tantangan Desa dalam Mengelola Otonomi
Meski desa kini memiliki kewenangan dan dana lebih besar, tantangan yang dihadapi tidak sedikit. Salah satunya adalah persoalan transparansi dan akuntabilitas. Data ICW menunjukkan bahwa selama 2015-2021, lebih dari 600 kepala desa terlibat kasus korupsi, dengan total kerugian negara mencapai ratusan miliar rupiah.